8 min Reading
2
Comments
Tulisan ini seharusnya dibuat seminggu yang lalu, namun entah mengapa saya mengurungkan niat tersebut, saat dimana ingatan-ingatan rinci itu berada di kepala dengan kuat.
Seminggu yang lalu, saya
dikagetkan dengan berita bahwa adik saya Rohim mengalami kecelakaan, saat ia perjalanan
pulang dari Malang menuju Mojokerto. Berita mengagetkan itu bukan saya dapat
langsung darinya, melainkan dari Ayah, yang saat itu berada di Kalimantan.
Saya masih mengingatnya, malam
itu saya sedang menonton televisi sambil tiduran. Empat telpon masuk yang saya
abaikan, karena mode silent. Ponsel
yang saya taruh di meja, letaknya memang jauh dari jangkauan saya saat itu.
Saya sempat tertidur beberapa menit, namun getaran ponsel yang berada di meja
membuat saya terbangun dan berusaha mengangkatnya. Saya terdiam untuk
mempersilahkan suara dari seluler itu terdengar, “Mas, dimana? Susah sekali di
telpon?” Ternyata suara sang Ayah yang sedikit meninggi.
Pikirku, apalagi salah saya. Sampai
membuat Ayah yang berada di Kalimantan rela marah-marah menelponku selarut ini.
Saya seketika itu terdiam, untuk mencari kesalahan saya, sambil
mempersilahkan suara Ayah yang semakin meninggi itu terus berbicara. Dan perasaan
bersalah dimulai malam itu.
“Mas, sekarang dimana?”
“Di kamar yah, sedang tiduran.”
Saya masih menerka-nerka mengapa
selarut ini Ayah menelpon saya. Ada dua kebiasaan Ayah menelpon Saya di waktu
selarut ini. Pertama, mengabarkan berita duka dari keluarga dan meminta untuk
segera menyampaikannya kepada Kakek dan Nenek, karena Ayah mengerti mengapa
tidak secara langsung memberi kabar melalui telpon rumah dan menghubungi saya
sebagai perantara, karena saya dianggapnya memiliki kemampuan mengolah intonasi
saat berbicara. Jika dibandingkan dengan Ayah yang cenderung keras dan spontan
saat menyampaikan sesuatu.
Kedua, kebiasaan Ayah menelpon
selarut ini biasanya untuk meminta bantuan tenaga sampling. Namun Ayah sangat
jarang dan hampir tak pernah mengajak saya sampling ke luar Jawa. Mentok,
kegiatan kami sampling paling jauh sampai Jawa Tengah. Apalagi akhir-akhir ini
kami jarang bertemu, semenjak kejadian saya yang kabur ke Gili trawangan tanpa
pamit beberapa bulan yang lalu. Membuat kami lost contact beberapa bulan. Berikut perbincangan telpon kami,
setelah beberapa bulan tak pernah berbicara di telpon.
“Mas, sekarang bisa ke
Mojokerto?”
“Hmm, ada apa Yah?, kok semalam ini.”
“Ini Ayah barusan dapat telpon
dari kantor Polisi Mojosari, bilang kalau Adikmu Rohim kecelakaan disana.”
“DEG, iya Yah??.”
“Kamu ijin mbah Kakung dulu,
untuk berangkat malam ini ke Mojokerto. Jangan ngebut ya Mas, pelan-pelan saja!”
“Hmm, iya Yah.”
Kemudian telpon ditutup. Saya
segera beranjak dari kasur. Mengganti sarung yang biasa saya kenakan dengan
celana semi-jeans, memakai kaos katun berwarna abu-abu, dan mengalungkan
sweater ungu di pundak. Setelah melipat sarung dan mencari kunci motor di
kabinet dan almari, saya segera menyiapkan diri untuk mengetuk kamar Embah.
Pikiran berkecamuk saat itu, saya diwanti-wanti oleh Ayah dan Bude, kabar seburuk
apapun harus benar-benar dikelola dan gak asal disampaikan ke Mbah yang udah
sepuh. Apalagi waktu itu sudah sangat larut, terdengar suara lirih tarikan
nafas tua dari sang Embah di balik pintu. Saya memberanikan diri untuk mengetuk
pintu, memulainya dengan perlahan dan dengan tempo yang tidak terlalu cepat.
“Mbah, mbah Kakung, mbah Putri.
Niki Rahman mbah.”
“Onok opo Le?”
Saya menunggu sampai salah satu
dari beliau yang sedang tidur terbangun, kemudian keluar menghampiri saya.
akhirnya mbah Kakung yang lebih dahulu keluar menghampiri saya, kemudian
disusul oleh mbah Putri di belakangnya.
“Mbah, kulo kajenge teng
Mojokerto.”
“Lah, lapo kok bengi-bengi ngene
to le?”
“Diaturi Ayah mbah, mangke kulo
kabari maleh ba’da Shubuh.”
“Iyowes nak, sing ngati-ngati nang
dalan.”
Setelah dapat ijin, pikiran
berkecamuk lagi. Bagaimana nasib Rohim di sana, siapa yang menunggunya. Jika
Rohim menunggu saya, kemungkinan saya baru bisa datang menjemput Mamak dan Fadli,
satu jam setengah jika perjalanan saya dari Surabaya dengan kecepatan 80km/jam.
Saya lihat jam tangan menunjukkan pukul 22:45 WIB. Mamak yang saya telpon,
hanya menangis dan mengirim nada khawatir. Saya pun makin tak tega untuk
meneruskan perbincangan dengan mamak di
telpon, dan menyuruhnya untuk menunggu kabar lagi dari saya.
Kemudian saya berpikir, siapa
yang dapat saya hubungi. Di otak saya, keluar nama mas Rosy yang kebetulan
sudah pulang ke Mojokerto terlebih dulu. Segera saya menghubunginya, meminta
bantuannya untuk menjemput Mamak dan Fadli, untuk mengantarkannya ke RSU
Mojosari.
***
Malam itu, angin dari tenggara begitu
menusuk. Saya yang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan hampir mencapai
60km/jam, dibuat ngilu. Persendian yang tertusuk angin dan lagi pikiran yang
melayang-layang membayangkan nasib adik di sana. Terkapar, dan menahan rasa
sakit. Seolah-olah membuat tiap persendian tulang kaki kanan saya terasa lebih ngilu.
Saya bukan kakak yang baik. Tapi
saya percaya semua pasti baik-baik saja.
Saya menambah kecepatan laju
sepeda motor, menambahkan gigi perseneling, memutar gas ke belakang hingga
hampir mencapai batas. Malam itu benar-benar seperti berada di jalur drag. Kencang dan dingin. Jalanan by pass
Krian yang malam itu sangat sepi. Saya yang sebelumnya tak pernah terbesit untuk
melewatinya selarut itu, akhirnya patah juga. Saya berani melewatinya seorang
diri tanpa kawan di belakang. Waktu itu saya merasa seperti ada nyawa baru yang
masuk kedalam rongga dada saya. Berandai-andai untuk membuang kekhawatiran,
jika nanti ada segerombolan preman mendekat, saya tak segan-segan menerjang
mereka. Jika perlu adu jotos seperti di serial film action. Huaaargh! Gilaa! Adik saya terkapar di rumah sakit, saya
malah berkhayal yang tidak-tidak.
***
Saat tiba di RSU Mojosari, di
belakang saya ada mobil angkut (pick up) dari kepolisian. Saya melihatnya ada
sepeda motor bernopol (L 23 sekian-sekian). Saya langsung mendekati mobil itu
untuk memastikannya. Saya menoleh kearah lobi IGD sudah ada Mamak, mas Rosy,
dan beberapa tetangga rumah yang ikut mengantar. Saya sedikit tenang, meski
belum melihat keadaan adik secara langsung.
Perhatian saya masih tertuju pada
mobil polisi yang baru datang itu, membawa sepeda motor revo merah, dengan
kondisi ajur-ajuran. Ah, ya Tuhan semoga adik baik-baik saja. Namun mustahil
dengan kondisi sepeda motor yang saya lihat itu, kondisi adik baik-baik saja.
Sepeda motor itu, rusak di bagian depannya, ace
steering bengkok ke arah kanan, dua
spion tinggal besi penyangga saja. Sedangkan bagian belakang motor juga lebih
ajur dari yang depan. Slebor/pantat motor ringsek, velg dan ban belakang juga
sudah berbentuk layaknya telur ayam, oval.
Saya menarik nafas dalam-dalam,
sembari menebak-nebak dan mengumpat dalam hati. Dasar bodoh, baru jadi Maba
saja sudah belagu.
Saya berjalan agak cepat kearah
lobi. Mamak, mas Rosy, dan Fadli segera mendekati saya. Seusai mencium tangan Mamak
dan menjabat tangan beberapa tetangga. Saya segera menghampiri Rohim.
Rohim waktu itu mengenakan kaus sport berbahan katun putih tim
kesayangannya, Real Madrid. Namun saat saya amati, ada yang aneh di posisi berbaringnya
saat itu, badannya miring kearah kanan sedangkan kakinya berbelok kearah kiri.
Aduh, was-was saya dibuatnya. Saya memperhatikan apakah ia baik-baik saja saat
itu. Kemudian saya mengusap keningnnya dengan perasaan nelangsa, namun saya tak
mau memperlihatkan perasaan ini kepadanya.
“Piye, juara piro awakmu?”
“Aku rapopo kok mas.”
“Terus, lawanmu endi? Iku tah
nang sebelah?”
“Uduk kok, bedo. Bocah kui ceblok
dewe, bar tril-trillan. Ketampani truk tekan mburi.”
“Terus iki awakmu sing owah
bagian endi?”
“Sikil kiwo, bagian dengkul.”
Kemudian saya perlahan membuka
selimut yang ia kenakan. Saya membuka perlahan dari bagian bawah kakinya. Ah
cukup, saya tak mampu mengingatnya lagi. Yang pasti saat itu lutut kiri Rohim
membengkak sebesar bakpao chikyen. Tulang yang mengawang (Patella) itu naik
kearah tulang femur (paha), menjauhi tulang tibia (betis). Kulit lututnya
berwarna merah keunguan. Lekukan-lekukan sendi lutut pun sudah tak kentara
lagi. Bundar karena pembengkakan. Luka lecet yang tidak terlalu dalam juga
terlihat di sekitaran benjolan di area lutut kirinya itu. Kaki kirinya tak
dapat digerakkan. Ada keretakan di bagian tulang femur, kaki kirinya. Sudah
pasti akan dioperasi.
Saya memutuskan untuk keluar
ruangan, menenangkan diri. Menyalakan rokok sambil melihat ke arah langit. Dulu
sewaktu kecil Mamak selalu bilang kepada saya, saat saya ingin menangis atau
ingin mengeluarkan air mata setelah melihat kejadian yang mengharukan di
televisi. “Ayo lihat ke langit, biar air matanya menjadi hujan.” Namun, malam
itu langit sedang bertaburan bintang, sangat indah. Mustahil langit seindah itu
akan turun hujan. Tapi saya percaya, semua pasti akan baik-baik saja. Saya juga
selalu ingat saat Rohim menuliskan statusnya di facebook pribadinya dengan
kalimat, “All is well, all is well, all is well”. Saya ingin mengatakannya
tadi, namun tak sekuat kenyataannya.
*Post-scriptum: Selamat ulang tahun adikku Abdurrahim Nur Salim,
mungkin kali ini Tuhan lebih sayang kepadamu. Kau disuruh berhenti barang
sejenak. Beristirahat, dan memikirkan kembali semua cita-cita dan rencanamu.
Sebelum kau benar-benar berdansa di dunia kampus baru mu itu. Maafkan mas, pada
saat ulang tahun mu saja aku tak sempat memberikan kado untuk mu. Untuk
menuliskan mu saja pun, aku terlambat. Aku memang bukan seorang kakak yang
baik. Namun aku tak akan tinggal diam saat kau menangis, atau pun terlukai. Aku
lah orang pertama yang membelamu. Semua pasti akan baik-baik saja, seperti
kata-katamu yang idiot itu di facebook kapan hari: All is well, all is well, all
is well.
2 komentar
wah, lekas sembuh buat si adik. :)
BalasHapusTerima kasih mas Abi.
BalasHapus