7 min Reading
Add Comment
Pernah ada sebuah cerita yang
saya dengar dari seorang kawan lama. Ceritanya amat singkat namun syarat dengan
makna. Ia menceritakan ada sebuah pelari dari benua Afrika. Bukan pelari
maraton, melainkan hanya pelari cepat dengan lintasan 300 meter.
Pelari berkulit hitam ini panggil
saja “synter.” Ia yang sangat mendambakan ajang bergengsi itu, mempersiapkan segala
hal untuk kematangan dalam perlombaan. Menjaga pola makan, dan selalu
memperhatikan porsi latihan demi mendapatkan performa terbaik saat perlombaan berlangsung.
![]() |
Running Man. |
Lama sudah ia menyiapkan
persiapan menuju perlombaan. Hari yang telah ditunggu-tunggu akhirnya tiba,
bukan perasaan cemas yang singgah menghampiri hati synter, melainkan perasaan
percaya diri yang begitu kuat menyala-nyala. Seperti ada binar api yang selalu
meletup-letup hebat pada dada dan sorot tajam tatapannya.
Saat perlombaan tinggal menunggu
hitungan detik. Beberapa kontestan sudah berjajar mengambil ‘kuda-kuda’, posisi
yang menunjukkan kesiapan untuk memulai pertandingan lari cepat. Tak begitu
lama terdengar letusan api yang menandakan perlombaan lari cepat itu dimulai.
“Jedeeorr”
Semua pelari menunjukkan
kemampuan terbaiknya di lintasan yang menjadi pusat perhatian 50.000 penonton
dari berbagai negara. Termasuk synter yang ‘memompa’ langkahnya untuk segera
mencapai garis finish.
Setiap lensa dan kamera menjadi
saksi betapa perlombaan itu begitu luar biasa. Namun ada pemandangan yang
ganjil dari beberapa kamera yang mengambil gambar secara candid atau sembunyi-sembunyi. Kamera yang memang sengaja disiapkan
oleh pihak penyelenggara berfungsi mengabadikan setiap momen tanpa sedikitpun terlewatkan.
Terlihat di lintasan ke-3, synter
pelari dari benua Afrika itu terhenti dengan posisi menunduk sambil memegangi
kaki kanannya. Sentak penonton yang tak sengaja melihat layar yang menyorot
gambar secara candid tersebut
bersorak, “WHY?” apa yang terjadi
pada pelari Afrika itu?
Tanpa mempedulikan synter. Pelari
lain tetap mempercepat langkahnya mencapai garis finish. Sedangkan synter yang semula hanya menunduk, sekarang mulai
terlihat berjongkok sambil tetap memegangi kaki kanannya. Ada beberapa kendala
yang sering dialami oleh pelari cepat, yaitu gangguan ligamen. Ada kemungkinan
synter saat itu sedang mengalaminya.
Awalnya hanya satu kamera yang
merekam kejadian tersebut, kemudian semakin banyak yang menyorot ke arahnya, seolah
meminta perhatian. Sehingga tiap penonton yang hadir dapat dengan jelas
menyaksikan mengapa pelari dari Afrika itu menghentikan langkahnya. Tanpa
memperdulikan riuhnya sorakan penonton yang berbangga karena pelari-pelari
mereka sampai pada garis finish
terlebih dahulu. Synter tetap berhenti dan memegangi kakinya. Synter terlihat
meneteskan air mata, mimik wajah itu terekam oleh videografer yang semakin mengarahkan
sorotan ke arah wajahnya. Synter berusaha melawan rasa sakit pada kakinya
dengan tetap berusaha bangkit dari posisinya yang merunduk itu.
Sorak riuh penonton semakin
membuncah hebat, penonton sepertinya ingin memberi semangat kepada synter untuk
mengakhiri perlombaan ini dengan mencapai garis finish.
Di satu sisi lain terlihat
sorotan kamera pada tribun penonton. Terlihat seorang pria paruh baya keluar
dari tempat ia duduk, menuju ke dalam lintasan lari. Pria tersebut berlari ke
arah synter yang sudah mulai berdiri dan berjalan dengan pelan dan terpincang
sambil sesekali memegangi kaki kanannya.
Pria paruh baya tersebut
menghampiri synter kemudian menggandengnya untuk berlari menuju garis finish. Synter yang terlihat dengan kaki
yang terpincang-pincang, tetap berlari bersama pria paruh baya tersebut.
Kejadian tersebut, membuat
sorakan penonton semakin riuh. Terlihat ada yang menesteskan air mata melihat
dua orang yang sedang berlari beriringan menuju garis finish. Pelari lain yang telah merampungkan lintasannya dan berdiri
setelah garis finish, ternyata juga memberikan
semangat pada synter untuk merampungkan lintasannya. Mereka bersorak, dan
memberi semangat. “Come on Synter,
selesaikan lintasan ini!”
Tribun penonton riuh, mereka
semua berdiri dan memberikan aplause
untuk synter dan pria paruh baya yang ternyata adalah kakak synter. Synter
akhirnya mencapai garis finish, dan
telah merampungkan lintasan larinya. Mereka berpelukan, sudut mata yang tak
kuasa untuk menahan air mata kebahagiaan semakin membuat suasana menjadi
mengharukan.
Semua berbangga telah melihat dan
menjadi saksi bagaimana usaha synter menyelesaikan lintasannya. Semua orang
yang berada disana paham bagaimana usaha dari setiap pelari, sampai mereka berada
di perlombaan lari cepat itu. Pastilah dengan semua pengorbanan dan proses yang
tidak dapat dikatakan mudah.
Ada beberapa hal yang dapat kita
peroleh dari cerita singkat di atas.
1. Terkadang kita terlalu lancang
untuk membicarakan sebuah hasil, padahal sebelum ‘hasil’ yang kita peroleh ada
tahapan yang bernama ‘proses’ yang harus kita lampaui terlebih dahulu.
2. Siapapun orangnya yang
melampaui garis ‘finish’ terlebih
dahulu tak jadi soal, karena itulah proses hidup. Tak jadi soal saat ada
seseorang yang sukses terlebih dahulu, yang terpenting adalah kita menuntaskan
setiap ‘lintasan’ yang ada di depan kita sampai ke garis finish.
3. Kita menyiapkan beberapa
energi yang begitu luar biasa untuk setiap hal yang kita impikan. Namun
pernahkah kita menyadari, terkadang kita merusaknya sendiri dengan pelan, dan
pelan, dengan begitu halusnya. Dan ini adalah sesuatu hal yang harus kita
mengerti.
4. Ada banyak opsi yang dapat dipilih
saat synter mengalami cidera pada lintasan larinya. Ia bisa saja mengurungkan
niat untuk tidak merampungkan perlombaan dan berteriak minta tolong kepada tim
medis. Tapi mengapa ia tak lakukan itu?
Ia tetap menahan rasa sakit pada kakinya dan mengelola rasa sakit itu, karena
ia tak ingin mimpinya hancur gegara tak mampu menyelesaikan perlombaan dan
sampai ke garis finish. Baginya juara
tak jadi soal, yang terpenting adalah menyelesaikan lintasan yang jauh-jauh
hari ia impikan.
5. Terkadang ada seseorang di luar
sana, jauh dari pemikiran kita yang mempunyai andil besar dalam setiap mimpi
kita. Dari kejadian synter yang sempat berhenti dalam perlombaan, ada pria
paruh baya yang turun menghampiri synter yang diketahui adalah kakak synter.
Dukungan dalam meraih mimpi dapat berasal dari orang-orang terdekat kita.
Sayangi mereka, karena dari merekalah energi terbesar yang mampu menguatkan
kita saat kita terpuruk sekalipun.
6. Terakhir, adalah “to be”. Menjadi apakah kita? Banyak sudah yang mengatakan bahwa lawan
terbesar adalah diri kita sendiri. Ketakutan terbesar juga berasal dari diri
kita sendiri. Manusia yang mampu ‘mengukur diri’ adalah manusia yang beruntung.
Bersyukur saya mendapat cerita
itu dari obrolan di kedai kopi bersama rekan saya. Ternyata inspirasi juga bisa
kita dapatkan darimana saja, Malah saya banyak belajar dari hal-hal kecil semacam
ini, yang mungkin tidak kita dapatkan dari bangku sekolah ataupun perkuliahan
yang umumnya memberikan pola, bahwa semua bisa diukur dengan nilai ujian yang
terpampang di papan pengumuman dan mengesampingkan aspek lain. Memandang si
pintar dan menyandingkannya dengan si bodoh diurutan terbawah pada papan
penilaian. Diskriminatif. Aspek dukungan, aspek ketimuran, terkadang luput dari
gemerlapnya media sosial yang makin mengarahkan kita menuju sikap apatis.
Bahwa orang sukses itu harus
berijazah, bahwa orang pintar itu namanya selalu ada di nomer satu papan nilai
ujian. Saya yang tak pernah sepakat, bahwa nilai ujian dijadikan kasta yang
tanpa kita sadari membuat sekat pada tingkatan peserta didik.
Saya semakin terpancing untuk
menanyakan beberapa hal, mengapa anak jaman sekarang lebih menyukai dan
menghabiskan waktunya untuk bermain video game? Daripada mereka rajin
mengerjakan PR atau tugas kuliah? Karena ada yang salah dalam cara kita menilai
dan mengapresiasi proses dan hasil. Kita hanya menyetak seorang buruh berlabel
sarjana dan mengesampingkan sebuah proses yang memicu kita untuk membaca
peluang. Tak banyak pengajar yang mengispirasi, ia sibuk mencari cara untuk
disegani dan kemudian ditakuti oleh peserta didik.
Jawabanya sangat mudah. Saat kita
bermain game, berjuta reward, pengakuan, dan apresiasi akan sangat mudah kita
dapatkan daripada kita sibuk mengerjakan PR atau tugas kuliah yang dinilai
hanya dalam hasil akhir saja. Toh ujung-ujungnya nanti juga jadi seorang buruh
dan menua di jalan raya sepaket dengan kemacetan kota. Menikmati pensiun dengan
gaji yang tak seberapa. Mari kita cemaskan bersama pertanyaan ini, itu pun
untuk kalian yang peduli yang bukan termasuk kaum apatis yang cukup memikirkan
perut masing-masing.
0 komentar:
Posting Komentar