7 min Reading
Add Comment
Menurut saya, perasaan menyesal
adalah perasaan paling bodoh.
ngomel
selebihnya dusta
Saya akui saya memang bodoh. Seharusnya
tulisan ini dibuat pada awal tahun 2011 lalu. Saat saya masih mempunyai
semangat untuk mengerjakan penelitian dan segera merampungkannya. Atau mungkin
tulisan ini dibuat sebagai pengantar proposal penelitian yang sering kita dengar
dengan kata: skripsi. Sehingga setiap mahasiswa yang ingin memulai mengerjakan
skripsi merasakan hal yang sama dengan saya. Memiliki rasa malu. Perasaan yang
timbul jika gagal dan terlambat.
Malam ini tepat dimana saya
berada di pelataran rumah yang sepi, memikirkan beberapa hal ganjil tentang apa
itu “rasa malu” dan “rasa semangat”. Terlebih jika dua kata tersebut
disandingkan dengan kata: “tanggung jawab”. Akan menjadi paduan kata yang
berbobot. Begitu ketiga kata itu dipadukan seolah-olah menjadi sekat gelap yang
harus ditembus, dan banyak ekspektasi yang muncul untuk segera direalisasikan. Berusaha
menyadari secara utuh, ketiga kata tersebut seolah-olah menjadi balok-balok
kayu yang siap membuat tungku tetap mengepul karena bara api semakin membesar. Dapat
diibaratkan mengepulnya tungku adalah tanggung jawab, bara api adalah semangat,
sedangkan balok-balok kayu adalah perasaan malu yang harus kita miliki.
Banyak sahabat mengatakan, “Kita
harus memiliki rasa malu”. Tetapi rasa malu yang bagaimana? Itu pertanyaan
dasarnya. Ada beberapa perasaan malu yang harus saya buat sendiri untuk
kemudian menjadikan diri ini semangat dan dapat dipanggil, “Manusia yang
bertanggung jawab”.
Perasaan malu yang pertama
Saya adalah anak pertama dari
tiga bersaudara. Kedua orang tua saya adalah revolusioner dalam bidang
pendidikan di lingkup masing-masing keluarga. Ayah saya anak kedua dari dua
bersaudara, dan beliau adalah satu-satunya yang mengawali menjadi sarjana.
Sedangkan mamak saya adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Sama seperti
ayah saya, mamak adalah penembus border
gelap dari masanya untuk bisa menjadi seorang sarjana pertama kali.
Pada setiap perbincangan, ayah
dan mamak selalu menekankan arti ketekunan dan keuletan. Mereka mengakui bahwa
mereka berdua tak begitu pintar. Tapi pada setiap sisi perbincangan kami,
mereka selalu menyisipkan kata semangat dan keberanian untuk menggapai mimpi.
Waktu itu, mereka memimpikan menjadi seorang sarjana.
Saya masih mengingatnya, saat
ayah berkata bahwa titel sarjana adalah sebuah pintu gerbang. Sebuah alat yang
berfungsi untuk “hidup” dan “menghidupi”. Pada saat itu, animo untuk menjadi seorang
sarjana di negara kita tak sebesar sekarang. Sedangkan untuk menggapai beberapa
tujuan dan mimpinya, titel sarjanalah gerbang yang harus dibuka terlebih
dahulu. Lebih dari kata dan titel sarjana, keilmuanlah yang mampu menjadikan
manusia naik satu level dari manusia lainnya.
Ayah berpegang teguh, “Bahwa ilmu
yang bermanfaat adalah salah satu bekal yang dapat menjadikan timbangan akhirat
menjadi lebih berbobot.”
Perasaan malu yang kedua
Setiap saya pulang ke rumah yang
berada di Mojokerto, selalu bawaanya adalah tidur. Bagi saya keputusan saya
untuk pulang kesana adalah pemuasan kebutuhan berdiam dan beristirahat. Menjauh
dari rutinitas, dan ingin menyepikan diri sejenak. Saya sangat menyukai suasana
di sana yang begitu asri dan jauh dari kata bising.
Namun jika memutar ulang ke
beberapa tahun silam, tepatnya awal tahun 2006. Kedua orang tua saya khususnya
mamak, mencetuskan sebuah gagasan untuk menghadirkan suasana belajar mengajar
di kampung kami Blooto, Prajurit Kulon. Mamak yang lulusan sejarah itu, tak
ingin melihat anak-anak di kampung kami bekerja dan mengesampingkan waktu sekolah.
Lahan disamping rumah yang dulunya adalah kebun pisang dan empon-empon, segera disulap menjadi bangunan untuk sekolah taman
kanak-kanak.
Saya juga masih mengingatnya,
begitu luar biasanya perjuangan mamak dan ayah untuk mendirikan sekolah itu.
Dalam penerapannya, setiap upaya baik tak selalu dibarengi respon yang baik
juga. Banyak pertentangan dari aparat desa dan beberapa warga sekitar, yang menganggap TK kami nantinya
akan menjadi kompetitor bagi TK Darma Wanita yang sudah lebih dahulu berdiri.
Padahal jika mereka mengerti, jauh dari kalimat tersebut mamak dan ayah tak
meminta biaya untuk mereka yang mau belajar di sekolah kami. Jangankan sebuah
kata kompetitor, berbisnis dalam hal mendidik pun tak terbesit sedikitpun dari
benak kami. Bukankah setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan
mengupayakannya.
Namun proses lebih utama dari
kata hasil. Semakin kuat kita berproses, semakin nyata hasil yang kita peroleh.
Begitulah kegigihan mamak dan ayah untuk mewujudkan medium kecil dalam mengisi
sisi keilmuan di kampung kami. Sampai sekarang saya juga tak mengerti, mengapa
nama Ar-Rohman yang dipakai untuk menamai sekolah tersebut?
Perasaan malu yang ketiga
Saya mengakui, saya adalah manusia
yang banyak omong. Saya suka bercerita, apalagi berbagi pengalaman. Paling
tidak bisa melihat kawan apalagi saudara jatuh dan tak punya harapan hidup.
Saya juga heran, mengapa saya
begitu mudahnya memotifasi seseorang dengan begitu powerful. Namun saat saya
terhenti (stuck), begitu susahnya
menemukan formula untuk kembali bangkit.
Saat adik saya kecelakaan. Saya
dapat melihat beberapa gelagat aneh yang ia tampilkan. Perasaan tak tenang, dan
selalu memegang ponsel untuk menanyakan beberapa informasi tentang perkuliahan
kepada rekan barunya, yang ia kenal kurang dari satu minggu itu. Apalagi sorot
matanya yang begitu tajam saat mendengar kata perkuliahan di dekatnya. Lutut
kirinya yang mengalami keretakan, yang menyebabkan ia harus mengurungkan
keinginannya untuk mengikuti keseruan ospek dan keasyikan perkuliahan pertama
kali. Mungkin baginya sangat menyebalkan jika harus berlama-lama berdiam diri
di rumah dengan waktu yang lama.
Pernah pada suatu sore, saya
berdua dengan adik berbicang di teras. Obrolan santai dengannya, untuk
menayakan keadaan dan rencanannya.
“Dik, opo sing marai awakmu pengen banget melebu kuliah? Padahal, awakmu
mlaku ae yo durung teteh.”
“Sampeyan lali yo mas, biyen sampeyan tau ngandani aku masalah kuliah.”
“DEG.” Saya hanya diam dan berusaha
mengalihkan pandangan tajam darinya. Berusaha mengingat kembali apa yang sudah
saya katakan kepadanya dulu, saat ia akan menajalani ujian nasional dan tes
masuk perguruan tinggi negeri.
***
Sebenarnya banyak sekali list malu yang ingin saya tuliskan.
Namun, tak ada yang begitu penting jika sebuah kaca “bengala” dihadapkan tepat
di depan saya. Kaca benggala itu ibarat keluarga. Banyak berkaca dari apa yang
diperjuangkan oleh keluarga membuat saya ingin menata kembali visi hidup saya.
Saat kaca itu bernama keluarga, dengan melihat apa yang menjadi kekuatan dan
kelemahan di dalam keluarga, semoga saya kembali merapikan misi hidup saya yang
sedikit berantakan ini.
Selama ini mungkin saya bukan
anak yang baik, malah lebih sering mengecewakan keluarga. Tapi saya yakin, dari
dasar hati yang terdalam saya akan tebus perasaan kecewa kalian dengan penuh
rasa tanggung jawab. Saat saya meminta beliau-beliau yang berada di kampus
untuk sudi membimbing saya dalam penyusunan skripsi, sekarang saya malah
mengabaikan kerelaan itu, malah membalas dengan menimbulkan perasaan kecewa
yang mendalam.
Saya memang bukan anak bimbing
yang baik, namun percayalah saya selalu memikirkan perasaan malu saya terhadap
bapak ibu sekalian. Biarkan rasa malu ini tetap menggumpal di dalam dada, dan
akan saya selesaikan tanggung jawab ini segera. Bukan karena siapa-siapa,
melainkan tanggung jawab untuk diri sendiri karena sudah banyak bicara lancang
tentang masa depan dan hasil yang belum dituntaskan dengan proses yang
semestinya. Saya meminta maaf untuk beberapa hal omong kosong yang teramat
sering saya utarakan.
Bahwa terkadang pengetahuan yang
teramat sedikit ini dapat membuat silau dan menjadikan saya pribadi yang
keminter. Alhasil saraf malu menjadi putus, semakin tak tahu diri. Ini hal yang
fatal. Jika saat ini saya memulai menyambung saraf malu saya, karena saya sadar
saat ini saya teramat bodoh. Manusia bodoh yang tak kunjung pandai. Dulu saya
sempat tak percaya, bahwa kesempatan itu datang hanya satu kali. Tapi sekarang
saya paham, bahwa kesempatan itu datang sekali, di hari dimana kita bernafas
dengan baik.
Pada kesempatan yang baik ini,
saya ingin mengutarakan bahwa saya
meminta maaf karena telah mengecewakan beberapa pihak. Beberapa pihak yang
sangat menaruh kepercayaan besar terhadap saya. Beberapa pihak yang telah sudi
bertaruh, dengan memberi harapan yang begitu tinggi kepada saya. Saat ini,
ijinkan saya menyambung saraf malu yang dulu sempat putus itu. Menjadi manusia
yang menjunjung rasa malu itu adalah yang utama, karena dengan rasa malu, kita
akan tetap berada pada koridor pengertian dan pengendalian diri. Dengan rasa
malu, kita akan terus belajar dan belajar.
Bagi saya malu itu mudah kok, buktinya
saya selalu malu untuk menemui dosen pembimbing. Sekarang yang lebih sulit ialah
untuk “menyambung saraf malu” itu. Saya akan berusaha menyambung malu dengan
menemui mereka. Namun saya tak mampu melakukannya seorang diri, saya butuh ahli
untuk membantu saya menyambung saraf malu ini. katakan dimana, saya akan segera
datangi!
0 komentar:
Posting Komentar