6 min Reading
Add Comment
Kami memutuskan menerima tawaran
Bli Made untuk menginap di pos polisi Tabog. Perasaan kami bertiga memang
bercampur aduk malam itu. Saya melihat Ryan yang sedari tadi memegang Iphone, membuka aplikasi mapping untuk memastikan keberadaan kami
dan sesekali melihat linimasa. Sedangkan Evan, lebih sering menggerakkan posisi
punggungnya untuk mencari sandaran yang nyaman karena mulai kelelahan, akibat
tas ransel yang terlampau penuh terisi perlengkapan fotografi. Sedangkan saya,
hanya diam sembari mengamati sekeliling pos yang minim penerangan, sambil
sesekali menghisap kretek dengan hisapan yang dalam.
Kami tersesat di sektor Banjar,
tepatnya di daerah Tabog. Setelah berjalan kira-kira 6 sampai 7 kilometer dari
Banyuatis. Kami ‘tergoda’ oleh rayuan calo bis di terminal Ubung yang
menawarkan tujuan menuju Singaraja dengan harga murah. Namun pada akhirnya kami
diturunkan di perempatan Munduk, karena kernek bis yang ‘diduga’ sedikit
mengalami gangguan pendengaran. Parahnya lagi, tarif yang kami keluarkan untuk
satu trayek tidak dipotong dengan kesalahannya. Sial sekali nasib kami.
Ada beberapa yang perlu kita
perhatikan saat kita memutuskan menggunakan angkutan publik ke arah Singaraja
dari Denpasar. Lokasi yang masih sangat jarang dilalui angkutan umum. Hanya
minibis dan semacam mobil colt L300 yang tersedia untuk melintasi desa ini. Daerah
Munduk sampai Banyuatis memang terkenal dengan sulitnya transportasi publik
jika lepas dari pukul 14.00 WITA. Kecuali jika kita memutuskan mengambil angkutan
carter atau mobil sewaan dari
Denpasar, kita dapat dengan leluasa memejamkan mata dan beristirahat tanpa
perlu merasa was-was.
Jika kita terpaksa melakukan
perjalanan dengan transportasi publik ke arah tersebut dan hari sudah mulai
sore, alternatif lain adalah dengan cara ngompreng/nebeng
kendaraan yang melintas di jalan ini. Namun cukup beresiko untuk dilakukan. Mengingat
semakin sore, daerah di Banyuatis begitu sepi dan jarang terlihat angkutan pick up
yang melintas. Meskipun kawasan ini terkenal dengan kawasan perkebunan dan
terdapat pasar tradisional yang membuat kami berprediksi, “dimana ada perkebunan dan pasar tradisional, pastilah ada mobil pick
up yang dapat kita tumpangi”. Dan intuisi kami tak selamanya benar. Alhasil
kami memutuskan untuk long-march.
Keheningan kami bertiga seketika
itu dibuyarkan dengan suara ketukan sepatu yang berjalan mendekati kami. Sosok
pria tinggi kekar dengan jaket kulit warna hitam menghampiri kami yang sedang
duduk bermalas-malasan. Kemudian pria kekar itu berbicara kepada kami dengan
nada tegas beraksen Bali.
“Selamat malam?” Sapa pria dengan jaket kulit warna hitam kepada
kami.
“Malam pak.” Jawab kami bertiga dengan suara parau dengan aksen
mengantuk dan sedikit menahan hawa dingin.
“Maaf ada keperluan apa? Malam-malam begini.” Tanyanya lagi kepada
kami.
“Kami meminta ijin bermalam pak, karena kami tidak mendapatkan
penginapan dan kami tersesat karena salah pilih transport.” Jawab Evan
kepada bapak berjaket kulit itu.
Seketika itu, obrolan kami dengan
bapak berjaket kulit tersebut dimulai. Kemudian disusul beberapa orang rekannya
yang ikut mendatangi kami. Obrolan yang awalnya tegang kemudian menjadi cair
karena rekan bapak berjaket kulit menawarkan nasi goreng kepada kami. Tanpa
sungkan kami bertiga sepakat mengangguk bersamaan, hampir mirip anjing
kintamani yang kelaparan. Kamipun tertawa kecil untuk menambah cairnya suasana.
Mungkin mereka iba, melihat tiga pemuda dihadapannya seperti korban remaja yang
kekurangan gizi. Muka sayu dan bibir pecah-pecah. Memang benar sejak lepas
dhuhur, kami bertiga memang belum makan. Perut yang hanya terisi air dan
beberapa asap rokok membuat kami merasa sebah malam itu.
Sembari menunggu nasi datang,
kami ditanya ini dan itu--oleh bapak berjaket kulit--mulai dari identitas dan
rencana ke pulau Bali dengan maksud wisata atau kunjungan lain. Kami hanya
menjawab seadanya, malah kami bertiga lebih tertarik membahas hasil perkebunan
di daerah Tabog serta suasananya yang tenang dan arif. Sangat kontras dengan Legian
dan Kuta yang begitu hedon. Melihat barang bawaan kami yang lumayan mencolok,
si bapak berjaket kulit ini mulai curhat kepada kami tentang masa mudanya yang
sering mengikuti kegiatan diklat dan sejenisnya. Memanggul tas kariel dan melalang
buana ke beberapa provinsi di Nusantara. Berpindah tugas ke luar pulau dan jauh
dari keluarga adalah tantangan yang harus beliau jalani saat mulai menginjak
umur 20 tahun. Ternyata dihadapan kami adalah kepala pos polisi Tabog. *Salim pak! Kita sesama traveler harus
saling memahami*
Tak sampai menunggu 15 menit,
nasi goreng pesanan kami datang. Waktu itu saya tak peduli lagi nasi goreng ini
terbuat dari apa? bercampur dengan minyak babi atau menggunakan sedikit daging
babi atau tidak, Allahualam. Saat itu,
yang ada di otak kami hanya perut yang begitu lapar, seperti cacing-cacing yang
berada di dalam perut meronta-ronta meminta makanan. Dengan ucapan basmallah, saya melahap nasi goreng saus
merah dengan begitu khusuknya. Kata Evan--yang mungkin sudah terbiasa dengan
masakan Bali--jika masakan yang menggunakan bahan atau minyak dari babi jelas
ada bedanya. Lebih enak dan gurih katanya. “Lah
menurut lo, nasi goreng yang kita makan saat ini juga termasuk?” Sahut saya
dengan kondisi mulut yang masih penuh dengan nasi goreng. “Waallahualam”, kata Evan dengan nada datarnya dan melanjutkan
suapannya. Hash, Evan setaaan!
Setelah menuntaskan nasi goreng
antah-beratah itu, saya langsung menutupnya dengan bacaan hamdallah. Berharap gusti Allah menghalalkan nasi goreng yang saya
makan malam itu. Guru ngaji saya dulu pernah berpesan, “cak man bacok’an, bar mangan gak rokok’an?” yo seppo le! Saya yang
ingat pesan guru termasuk guru ngaji, tanpa banyak babibu segera mengambil korek api kemudian mengeluarkan kretek yang
hampir layu di saku kiri kemeja dan langsung membakar ujungnya dengan hisapan bercampur
perasaan legowo. Byuhh.. urip songo!
“Kalu sudah pukul segini, tak ada publik yang lewat”. Kata salah
satu rekan bapak berjaket kulit hitam kepada kami.
Kami hanya manggut-manggut
seperti boneka HokBen di Royal Plaza.
“Kira-kira pukul berapa ya pak, publiknya lewat?”, pertanyaan
simbolik yang diajukan Ryan untuk menghargai pernyataan si bapak bertato di
area lengan kanannya itu.
“Yaaah, kira-kira pukul 6 pagi. Lalu, rencana mas-mas ini mau menginap
dimana?”
“Hmm, kami juga kurang mengerti pak, mau menginap dimana?”
“Yasudah, silahkan menginap di kantor sini saja. Karena di sini tak
biasa jika ada orang menginap di pos kamling, apalagi warga juga takut untuk
memasukkan orang asing kedalam rumahnya.”
“Matur sukma, paaaakk”. Kami hanya tertawa kecil sedikit menutupi
perasaan malu.
Karena, sebelum kami berada di
pos polisi Tabog. Kami bertiga memutuskan untuk tidur di pos kamling sembari
menunggu pagi dan transportasi publik melintas. Namun sengaja kami batalkan, karena
beberapa warga menghampiri kami dan kemudian mengantarkan kami ke kantor polisi
Tabog. Dengan pertimbangan, daerah Tabog sangat rawan jika malam hari. Saya
sempat ragu, jika harus memaksakan diri tidur di pos kamling, yang notabene
banyak sekali anjing kampung berkeliaran dengan menjulurkan lidahnya. Ugh..
Setelah berbincang-bincang selama
satu jam, kami ‘mengangkat bendera putih’ untuk meminta istirahat. Karena
perjalanan kami esok harus segera dilanjutkan pagi-pagi buta. Karena semakin
pagi kami berangkat, semakin lama kami bersenang-senang. Selain itu, kami ingin
cepat-cepat meluruskan punggung yang 17 jam memanggul kariel sambil
berlari-lari mengejar tumpangan. Yah, hitung-hitung sudah pernah merasakan
tidur di kantor polisi. Hehe.. (bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar