BERHENTI SEJENAK DI TABOG


Kami memutuskan menerima tawaran Bli Made untuk menginap di pos polisi Tabog. Perasaan kami bertiga memang bercampur aduk malam itu. Saya melihat Ryan yang sedari tadi memegang Iphone, membuka aplikasi mapping untuk memastikan keberadaan kami dan sesekali melihat linimasa. Sedangkan Evan, lebih sering menggerakkan posisi punggungnya untuk mencari sandaran yang nyaman karena mulai kelelahan, akibat tas ransel yang terlampau penuh terisi perlengkapan fotografi. Sedangkan saya, hanya diam sembari mengamati sekeliling pos yang minim penerangan, sambil sesekali menghisap kretek dengan hisapan yang dalam.


Kami tersesat di sektor Banjar, tepatnya di daerah Tabog. Setelah berjalan kira-kira 6 sampai 7 kilometer dari Banyuatis. Kami ‘tergoda’ oleh rayuan calo bis di terminal Ubung yang menawarkan tujuan menuju Singaraja dengan harga murah. Namun pada akhirnya kami diturunkan di perempatan Munduk, karena kernek bis yang ‘diduga’ sedikit mengalami gangguan pendengaran. Parahnya lagi, tarif yang kami keluarkan untuk satu trayek tidak dipotong dengan kesalahannya. Sial sekali nasib kami.

Ada beberapa yang perlu kita perhatikan saat kita memutuskan menggunakan angkutan publik ke arah Singaraja dari Denpasar. Lokasi yang masih sangat jarang dilalui angkutan umum. Hanya minibis dan semacam mobil colt L300 yang tersedia untuk melintasi desa ini. Daerah Munduk sampai Banyuatis memang terkenal dengan sulitnya transportasi publik jika lepas dari pukul 14.00 WITA. Kecuali jika kita memutuskan mengambil angkutan carter atau mobil sewaan dari Denpasar, kita dapat dengan leluasa memejamkan mata dan beristirahat tanpa perlu merasa was-was.

Jika kita terpaksa melakukan perjalanan dengan transportasi publik ke arah tersebut dan hari sudah mulai sore, alternatif lain adalah dengan cara ngompreng/nebeng kendaraan yang melintas di jalan ini. Namun cukup beresiko untuk dilakukan. Mengingat semakin sore, daerah di Banyuatis begitu sepi dan jarang terlihat angkutan pick up yang melintas. Meskipun kawasan ini terkenal dengan kawasan perkebunan dan terdapat pasar tradisional yang membuat kami berprediksi, “dimana ada perkebunan dan pasar tradisional, pastilah ada mobil pick up yang dapat kita tumpangi”. Dan intuisi kami tak selamanya benar. Alhasil kami memutuskan untuk long-march.

Keheningan kami bertiga seketika itu dibuyarkan dengan suara ketukan sepatu yang berjalan mendekati kami. Sosok pria tinggi kekar dengan jaket kulit warna hitam menghampiri kami yang sedang duduk bermalas-malasan. Kemudian pria kekar itu berbicara kepada kami dengan nada tegas beraksen Bali.

“Selamat malam?” Sapa pria dengan jaket kulit warna hitam kepada kami.

“Malam pak.” Jawab kami bertiga dengan suara parau dengan aksen mengantuk dan sedikit menahan hawa dingin.

“Maaf ada keperluan apa? Malam-malam begini.” Tanyanya lagi kepada kami.

“Kami meminta ijin bermalam pak, karena kami tidak mendapatkan penginapan dan kami tersesat karena salah pilih transport.” Jawab Evan kepada bapak berjaket kulit itu.

Seketika itu, obrolan kami dengan bapak berjaket kulit tersebut dimulai. Kemudian disusul beberapa orang rekannya yang ikut mendatangi kami. Obrolan yang awalnya tegang kemudian menjadi cair karena rekan bapak berjaket kulit menawarkan nasi goreng kepada kami. Tanpa sungkan kami bertiga sepakat mengangguk bersamaan, hampir mirip anjing kintamani yang kelaparan. Kamipun tertawa kecil untuk menambah cairnya suasana. Mungkin mereka iba, melihat tiga pemuda dihadapannya seperti korban remaja yang kekurangan gizi. Muka sayu dan bibir pecah-pecah. Memang benar sejak lepas dhuhur, kami bertiga memang belum makan. Perut yang hanya terisi air dan beberapa asap rokok membuat kami merasa sebah malam itu.

Sembari menunggu nasi datang, kami ditanya ini dan itu--oleh bapak berjaket kulit--mulai dari identitas dan rencana ke pulau Bali dengan maksud wisata atau kunjungan lain. Kami hanya menjawab seadanya, malah kami bertiga lebih tertarik membahas hasil perkebunan di daerah Tabog serta suasananya yang tenang dan arif. Sangat kontras dengan Legian dan Kuta yang begitu hedon. Melihat barang bawaan kami yang lumayan mencolok, si bapak berjaket kulit ini mulai curhat kepada kami tentang masa mudanya yang sering mengikuti kegiatan diklat dan sejenisnya. Memanggul tas kariel dan melalang buana ke beberapa provinsi di Nusantara. Berpindah tugas ke luar pulau dan jauh dari keluarga adalah tantangan yang harus beliau jalani saat mulai menginjak umur 20 tahun. Ternyata dihadapan kami adalah kepala pos polisi Tabog. *Salim pak! Kita sesama traveler harus saling memahami*

Tak sampai menunggu 15 menit, nasi goreng pesanan kami datang. Waktu itu saya tak peduli lagi nasi goreng ini terbuat dari apa? bercampur dengan minyak babi atau menggunakan sedikit daging babi atau tidak, Allahualam. Saat itu, yang ada di otak kami hanya perut yang begitu lapar, seperti cacing-cacing yang berada di dalam perut meronta-ronta meminta makanan. Dengan ucapan basmallah, saya melahap nasi goreng saus merah dengan begitu khusuknya. Kata Evan--yang mungkin sudah terbiasa dengan masakan Bali--jika masakan yang menggunakan bahan atau minyak dari babi jelas ada bedanya. Lebih enak dan gurih katanya. “Lah menurut lo, nasi goreng yang kita makan saat ini juga termasuk?” Sahut saya dengan kondisi mulut yang masih penuh dengan nasi goreng. “Waallahualam”, kata Evan dengan nada datarnya dan melanjutkan suapannya. Hash, Evan setaaan!

Setelah menuntaskan nasi goreng antah-beratah itu, saya langsung menutupnya dengan bacaan hamdallah. Berharap gusti Allah menghalalkan nasi goreng yang saya makan malam itu. Guru ngaji saya dulu pernah berpesan, “cak man bacok’an, bar mangan gak rokok’an?” yo seppo le! Saya yang ingat pesan guru termasuk guru ngaji, tanpa banyak babibu segera mengambil korek api kemudian mengeluarkan kretek yang hampir layu di saku kiri kemeja dan langsung membakar ujungnya dengan hisapan bercampur perasaan legowo. Byuhh.. urip songo!

“Kalu sudah pukul segini, tak ada publik yang lewat”. Kata salah satu rekan bapak berjaket kulit hitam kepada kami.

Kami hanya manggut-manggut seperti boneka HokBen di Royal Plaza.

“Kira-kira pukul berapa ya pak, publiknya lewat?”, pertanyaan simbolik yang diajukan Ryan untuk menghargai pernyataan si bapak bertato di area lengan kanannya itu.

“Yaaah, kira-kira pukul 6 pagi. Lalu, rencana mas-mas ini mau menginap dimana?”

“Hmm, kami juga kurang mengerti pak, mau menginap dimana?”

“Yasudah, silahkan menginap di kantor sini saja. Karena di sini tak biasa jika ada orang menginap di pos kamling, apalagi warga juga takut untuk memasukkan orang asing kedalam rumahnya.”

“Matur sukma, paaaakk”. Kami hanya tertawa kecil sedikit menutupi perasaan malu.

Karena, sebelum kami berada di pos polisi Tabog. Kami bertiga memutuskan untuk tidur di pos kamling sembari menunggu pagi dan transportasi publik melintas. Namun sengaja kami batalkan, karena beberapa warga menghampiri kami dan kemudian mengantarkan kami ke kantor polisi Tabog. Dengan pertimbangan, daerah Tabog sangat rawan jika malam hari. Saya sempat ragu, jika harus memaksakan diri tidur di pos kamling, yang notabene banyak sekali anjing kampung berkeliaran dengan menjulurkan lidahnya. Ugh..


Setelah berbincang-bincang selama satu jam, kami ‘mengangkat bendera putih’ untuk meminta istirahat. Karena perjalanan kami esok harus segera dilanjutkan pagi-pagi buta. Karena semakin pagi kami berangkat, semakin lama kami bersenang-senang. Selain itu, kami ingin cepat-cepat meluruskan punggung yang 17 jam memanggul kariel sambil berlari-lari mengejar tumpangan. Yah, hitung-hitung sudah pernah merasakan tidur di kantor polisi. Hehe.. (bersambung)

0 komentar:

Posting Komentar

Pasang Iklanmu di sini