6 min Reading
Add Comment
22:25:00 WIB
Di Jakarta dan berbagai kota besar di Indonesia seperti Surabaya,
Jogjakarta, Makassar, dan Bandung akan dengan mudah kita menjumpai mural di
tembok, dinding rumah/gedung, atau sepanjang jalan-jalan besar. Banyak yang
mencibir sebagai perilaku mengotori keindahan kota, sebagian lagi menuduh itu
hanya pekerjaan seniman yang tidak punya panggung. Sangat sedikit diantara kita
yang mau membuka mata dan pikiran, untuk menempatkan mural dalam konstruksi
masyarakat modern, dimana bahasa komunikasi sangat beraneka ragam. Selama ini
kita hanya mengenal mural sekedar sebagai aktivitas coret-coret dinding/tembok,
ataupun yang paling tinggi memahami mural sebagai aktivitas berkesenian.
Tetapi, sangat kurang menangkap peran mural sebagai media komunikasi,
penyampaian pesan, dan penggugah semangat.
artikel
Mural
reblog
Oleh: Rudi Hartono*
![]() |
Foto diambil disini. |
Sebagian besar dari kita sudah
lupa bahwa mural selain sebagai bentuk tulisan yang memuat isian seni di
dalamnya, juga punya peranan yang tidak sedikit dalam sejarah. Kendati sejarah
selalu di tuliskan berdasarkan bait-bait yang di kehendaki oleh sang penguasa.
Namun, beberapa tulisan telah menjadi sumber inspirasi, sumber penyatuan ide,
dan menjadi saksi-saksi sejarah bagi generasi kemudian. Revolusi Perancis
mencatat bagaimana mural-mural yang di buat oleh aktivis kiri, menjadi bahan
propaganda yang menggema dalam revolusi Perancis May 1968. Revolusi Rusia yang
termasyur itupun, di dalamnya dikenal peranan mural di dinding pabrik dan
tembok istana raja untuk menyadarkan orang akan situasi Rusia dan apa yang
harus dilakukan.
Dalam sejarah revolusi Indonesia
pun kita mengenal kata-kata yang cukup popular diantara kaum pejuang, yakni
“Merdeka atau Mati”, “Boeng Ayo Boeng” atau kata-kata “Revolusi Sampai Mati”.
Namun sekarang merebaknya mural di berbagai kota, justru, menimbulkan
pencitraan yang negatif oleh mayoritas diantara kita. Padahal, itu harus
dimaknai sebuah ungkapan (baca;ekspresi) dari sebuah ide, walaupun ide-ide itu
masih samar-samar. Di Jogjakarta paska gempa bumi, muncul mural dimana-mana,
yang memberikan semangat dan motivasi bagi semua warga masyarakat untuk
bangkit. Di Jakarta, problem perkotaan seperti kemiskinan, polusi udara,
kemacetan, dan situasi nasional bisa tergambarkan oleh mural-mural yang
menghiasi berbagai tembok dan dinding sepanjang jalan kota Jakarta.
Mural dan Revolusi Nasional
Dalam revolusi nasional
mempertahankan kemerdekaan ada dua nama yang sangat terkenal, yakni Affandi dan
Sudjoyono, dalam konteks pembebasan lewat seni rupa. Peranan mereka tidak dapat
dikecilkan, mengingat beberapa karya, justru menjadi pesan yang mengobarkan
semangat kaum muda melawan penjajahan. Affandi misalnya, lewat lukisan dan
muralnya yang berjudul “Tiga Pengemis” telah menjadi alat yang efektif
propaganda melawan Jepang, dan untuk menyadarkan kaum muda akan nasib
bangsanya. Dalam revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan, lukisan dan
muralnya yang menggambarkan seorang pemuda memekikkan kata “merdeka”, sanggup
membangkitkan semangat kaum muda. Selain itu kata-kata “Boeng, ayo boeng” di
massalkan oleh pelukis lain lewat coretan dinding (mural), sanggup memobilisasi
kaum muda terlibat dalam lascar-laskar mempertahankan kemerdekaan. Lihat saja
dalam dokumenter sejarah perjuangan bangsa kita, mural hadir dalam setiap
front-front perlawanan di garis depan. Kereta-kereta api yang mengangkut
pejuang, di penuhi dengan coretan-coretan yang membangkitkan nasionalisme, yang
kemudian ditangkap oleh rakyat sebagai seruan untuk mempertahankan kemerdekaan.
![]() |
Serikat mural Surabaya, tolak kenaikan harga BBM. |
Tahun 1950-an, boleh dikatakan
sebagai puncak kejayaan seni dan sastra pembebasan termasuk di dalamnya mural.
Penolakan terhadap hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), dan kenyataan bahwa
penjajah belanda tidak sepenuhnya enyah dari Indonesia termanifestasikan dalam
seruan-seruan coretan dinding (mural). Kata-kata seperti “Ayo tuntaskan
revolusi kita”, atau “Ganyang Imperialisme Inggris-Amerika” tidak sulit untuk
di temui sepanjang dinding tembok pinggir jalan. Seni rupa memang tidak bisa di
lepaskan dari kepentingan politik dan ideologis. Tinggal sekarang, sejauh mana
sastra dan seni rupa mau mengabdi kepada mayoritas massa rakyat yang terhisap.
Eksistensi mural-mural ini sangat
signifikan dalam masa-masa revolusi, karena telah menjadi bahasa pesan untuk menyampaikan
seruan perjuangan. Kita tidak bisa menafikan bahwa menggemanya kata-kata
“Merdeka atau Mati” dan “Boeng, ayo boeng” tidak bisa di lepaskan dari
keberadaan mural sebagai alat propaganda di ruang publik. Selama revolusi fisik
hingga detik-detik terakhir kejatuhan pemerintahan Soekarno, mural punya andil
dalam menyatukan ide soal persatuan nasional, kemerdekaan sejati, dan
tugas-tugas revolusi di masa depan. Namun, sebaliknya, naiknya rejim orde baru
telah memberangus daya kritis, termasuk prinsip kesukarelaan semua suku bangsa
dalam sebuah “nation”. Jika dijaman Soekarno, persatuan dan nasionalisme
Indonesia terlahir/terwujud dari ide-ide, yang tentu saja senjatanya adalah
tulisan (artikel, Koran, mural, lukisan, selebaran, dsb). Maka di bawah kekuasan
Orde Baru, nasionalisme Indonesia dipaksakan dengan pendekatan militeristik,
sehingga nasionalisme yang dihadirkan adalah nasionalisme yang berdarah-darah,
penuh paksaan dan Chauvinis.
Menempatkan Mural dalam situasi Indonesia Kini.
Pandangan merendahkan eksistensi
mural adalah tindakan yang ahistoris dan tidak peka dengan perkembangan
situasi. Di bawah gempuran budaya neoliberalisme (dimana salah satu unsurnya
adalah Individualisme), maka keberadaan ruang-ruang publik terus digeser dan
dihapuskan oleh derasnya modal dan ideologi individualisme. Di kota-kota besar
sekarang, sangat susah menemukan ruang publik yang gratis (yang bisa diakses
banyak orang) dan memberikan ruang yang leluasa bagi semua individu, tanpa
memandang klas. Ruang-ruang publik di dominasi oleh selebriti, tokoh-tokoh
politik, atlet-atlet terkenal, dan produk-produk komersil. Papan reklame yang
menawarkan produk, dengan bahan propaganda selebriti cantik dan seksi menghiasi
seluruh kota. Bersamaan dengan semua proses semua itu, ideologi nasionalisme
kita juga semakin direduksi dan digantikan dengan ideologi individualisme dan
komsumerisme barat. Pertanyaannya, mau dikemanakan ideologi pancasila kita? Dan
siapa yang harus menjaganya?
Ideologi neoliberal telah
menggerus jiwa dan semanggat ideologi nasionalisme kita. Dalam kondisi seperti
ini, menurut Antonio Gramsci (seorang Marxis Italia) bahwa bentuk hegemoni
harus dilawan dengan counter
hegemoni. Sehingga dalam memaknai kebangkitan mural di berbagai kota besar di
Indonesia saat ini, harus di letakkan dalam pengertian sebagai berikut: (1)
ruang aktualisasi diri (ber-eksistensi), merupakan gerakan kultural untuk
melawan dan merebut kembali ruang-ruang publik yang saat ini dikuasai pasar.
Dinding tembok, trotoar, dan halte merupakan ruang publik (Public Space) yang selalu disaksikan oleh banyak orang. (2).
Munculnya mural-mural politis dan ideologis merupakan senjata ampuh merebut dan
membentuk kembali ide nasionalisme kita yang telah lama di biaskan. Papan
reklame yang menawarkan komoditi, pornografi (industri seksual), dan
konsumerisme harus di counter dengan
propaganda alternatif salah satunya adalah mural. (3). Mural-mural itu penting
untuk membangkitkan kembali ingatan kolektif massa akan sejarah nasional bangsa
ini. Di Cuba tahun 1970-an, ketika semangat revolusi semakin surut dikalangan
kaum muda maka pemerintahan Revolusioner Castro menghidupkan kembali sosok Che
Guevara dalam berbagai bentuk termasuk mural-mural.
![]() |
Foto diambil disini. |
Sekarang saatnya kembali
mengangkat mural dalam konteks perjuangan nasional, mengembalikan kepribadian
bangsa Indonesia yang dikenal dengan semangat gotong royong, anti imperialisme,
dan anti eksploitasi. Tidak seharusnya mural hanya di tempatkan sebagai media
penghilang stress karena macet dan lain sebagainya. Cukup Sudah Jadi Bangsa
kuli, bangkit jadi Bangsa mandiri.
***
*(Penulis Koordinator Divisi Seni
Sanggar Satu Bumi, saat ini sebagai Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk
Demokrasi-EN LMND).
0 komentar:
Posting Komentar