3 min Reading
Add Comment
Entah sejak kapan saya mengutuk
sebuah kerinduan. Barang kali beberapa pertemuan dengan sahabat dan keluarga
cenderung menyebalkan akhir-akhir ini. Saya sering bosan. Alhasil dengan cara
menghindar dan kabur dari rutinitas menjadi jalan pintas. Ambilah contoh
pelarian saya menuju pulau Lombok beberapa bulan lalu. Ditambah lagi kegiatan mendaki
gunung Argopuro yang hampir saya yakini sebagai batas akhir hidup. Miris? Dengan
jujur saya katakan, “iya.”
Memang terlalu dini untuk
mengatakan, “supaya orang lain mengambil pelajaran hidup dari apa yang saya
lakukan.” Mungkin ini adalah kalimat paling congkak yang saya yakini waktu itu.
Memangnya siapa saya, sampai orang lain mau belajar dari saya.
ngomel
self discovery
![]() |
Momen saat usai pengamatan burung. Foto: Ryan |
Mencoba memutar ulang waktu.
Pada saat itu, dibawah kekalutan
dan beberapa perasaan sepi yang saya alami. Membuat saya menguji beberapa
pemikiran dan buku yang saya baca. Tentang seberapa kuat, benar, sampai beberapa
pertanyaan tentang seberapa rindu saya akan hal-hal yang menyakitkan. Saya berpendapat,
bahwa hidup adalah membuktikan apa yang panca indra rasa.
Seperti perasaan bagaimana kita
menuntaskan buku bacaan kesayangan, dan berusaha mati-matian untuk
mengoleksinya hingga tuntas. Mungkin itulah hidup menurut saya waktu itu. Saya tak
butuh pembenaran atau sangkalan dari orang lain, karena prinsip akan timbul
dari beberapa pengalaman hidup yang kita sendiri alami. Bukankah cara kita berjalan
berbeda?
Saya pernah membenci keramaian,
maka saya berusaha mengujinya dengan mendatangi Gili Trawangan. Saya pun pernah
membenci sepi, maka saya mengujinya dengan mengunjungi Argopuro. Kemudian pernah
saya tergelitik dengan pernyataan, “Berburu pantai eksotis”. Maka saya tergerak
untuk memburunya. Semua perkara pembuktian.
Saya tak ingin benar-benar
membenci sesuatu hal, saat saya belum melakukannya. Entah orang lain mempunyai
pendapat yang berbeda dari saya, itu adalah hak. Sekali lagi, bukankah cara
kita berjalan berbeda?
Parahnya lagi, saya tak mudah
percaya dengan apa yang saya dengar sebelum saya melihatnya dengan mata kaki
saya. Contoh bodohnya adalah saat seorang kawan pendaki mengatakan bahwa Argopuro
memiliki jalur trekking terpanjang se-Jawa, saya membuang muka di depannya dan
berujar, “Saya akan kesana”. Alhasil, di pertengahan perjalanan trekking Argopuro,
saya mengalami hypothermia dan kuku jari kaki hampir lepas, karena perjalanan
yang tak habis-habis. Saya menyesal? Tidak, karena saya belajar.
Saya yakin Tuhan punya rencana sendiri
untuk mengingatkan sikap sombong. Sebenarnya saya tak pernah suka dengan sikap
yang membinasakan itu. Mana ada orang yang dipanggil sombong akan suka dan
tersenyum. Fitrah manusia, ingin dipandang baik toh.
Selain membuktikan tentang
ketakutan, kesepian, sampai dengan kata utuh. Saya juga ingin membuktikan apa
arti kerinduan? Semua manusia berhak rindu dan dirindukan. Chandra Malik bisa saja
bebas menulis tentang apa itu kerinduan dengan #fatwarindu-nya setiap malam,
supaya kita tersentuh dan menangis.
Memang benar adanya, rindu adalah
harapan. Saat harapan itu begitu jauh dan mungkin detik waktu tak cukup untuk
menggantikannya. Lalu bagaimana kita menggantinya? Dengan diam? dengan berucap?
Sampai tiap buih doa pagi hari yang kita ucap yang kita yakini sebagai antidot, mulai pupus dan membuat kita
jengah dengan keadaan.
Saya pun tak benar-benar yakin,
bahwa menulis adalah sebuah proses merapikan kenangan. Karena kenanganlah yang
membuat perasaan rindu semakin kuat dan menyesak di celah-celah rongga dada
yang membuat kering kerongkongan.
Kita hanya bisa menggantinya. Mengganti
rindu yang telah usang, membuat harapan baru dengan sesuatu yang pantas
dirindukan.
Seperti bermain puzzle. Kita
berhak merubah letaknya, mencarinya, sampai kita menuntaskan permainan. Tapi ingat,
suatu saat kita akan membuka kembali dan mengacak-acaknya. Itulah rindu.
0 komentar:
Posting Komentar