7 min Reading
Add Comment
Saya hanya bisa terdiam saat
mendapat surat elektronik dari seseorang kawan semasa SMA. Ia mengisahkan
dengan satu puisi yang mengiris hati, saat cintanya terlambat untuk dikatakan
kepada seseorang pria. Ia tak mempunyai kuasa atas semesta yang memilihnya
untuk mengetahui bahwa pria yang ia kagumi dan juga ia cintai akan menikah
dengan perempuan lain. Kawan saya yang memiliki hati yang lembut ini, lebih
memilih jalan diam untuk satu perasaan yang ia lawan sendiri. Ia lebih memilih
untuk diam sebagai seorang perempuan yang tak ingin mengutarakan cintanya.
#30HariMenulis
Ilusi kesepian
music
ngomel
Saya tidak mengerti bagaimana
satu dogma yang terpatri begitu kuat di masyarakat lalu disepakati menjadi satu
kebenaran secara berjama’ah. Saya juga tidak mengerti, apakah tingkatan seorang
perempuan ditakdirkan untuk menunggu satu permintaan perasaan dari kaum pria,
sekalipun itu adalah perasaan yang ia yakini sendiri kemudian ia ingkari.
Apakah perempuan ditakdirkan hanya untuk menunggu permintaan perasaan yang ia harapkan
kehadirannya dari pria yang ia cintai? Dihadapkan dengan kondisi apa boleh
bikin dan terserah kemudian pasrah dibuatnya.
***
Semua manusia pernah sakit hati.
Mengutuk, kemudian berucap sumpah serapah. Mungkin ada yang menerimanya sebagai
satu perjalanan hidup yang harus dihadapi. Namun tak jarang ada juga yang
terpuruk, meratap, kemudian memilih menjadi apatis. Semua berpulang pada waktu
dan kenangan.
Kenangan yang kuat mungkin muncul
pada saat kita dihadapkan dengan satu fragmen tentang kesedihan dan kehilangan,
dari pada fragmen mengenai kebahagiaan. Entah, bagaimana sistem kerja otak
manusia? Mengapa ia begitu kekal untuk menyimpan satu kenangan yang memiliki
unsur kesakitan, kedukaan, kehilangan, dan juga kematian?
Pernah ada seorang kawan karib
berkata kepada saya pada satu sore di taman kota, “Saat manusia menjadi galau,
mungkin saja ia belum bertemu dengan satu hikmah dari Yang Maha Pencipta.”
Secara tidak langsung, ia ingin menyampaikan bahwa “Satu kenangan akan
memunculkan seribu hikmah yang akan kita petik pelajarannya.” Tiba-tiba ada
perasaan ingin menuliskannya pada selembar kertas kemudian menerbangkannya ke
langit, supaya tertangkap oleh awan dan kemudian menjadi hujan.
***
Saya melihat jam tangan digital
saya menunjuk pukul 23:00 wib. Saya baru datang dari Sidoarjo setelah
mengerjakan satu program sanitasi masyarakat di sana. Selama perjalanan menuju
rumah tak sengaja saya mendengarkan Band BIP yang terputar secara random di playlist seluler saya. Band pecahan Slank dengan lagu perpisahan
yang luar biasa ampuh untuk mengiris-iris perasaan saya malam ini. Lagu
tersebut mungkin bercerita tentang perpisahan antar anggota band hingga
perpisahan asmara sendu karena keharusan mengejar mimpi. Lagu yang berjudul
"Ternyata Harus Memilih". Lagu ini dibuat BIP ketika Irang (vokalis
awal BIP yang lantas digantikan oleh Ipang, mantan vokalis Plastik), yang mengundurkan
diri. Di lagu ini, para personil BIP berharap agar Irang mengenang masa-masa
indah mereka. Tapi lagu ini multitafsir. Bisa juga untuk para pecinta yang
sedang dirundung duka perpisahan dan kenangan.
Di hari ini semua
berakhir sudah
Kita berpisah
baik-baik saja
Jangan ingat hal yang
membuatmu marah
Apalagi membuatmu
kecewa
Kenang yang indah,
kenang yang memiliki kesan di hati
Hanya yang baik, hanya
yang membuat tersenyum saat kita mengingatnya.
Ternyata kita sampai,
pada jalan yang berlainan arah
Ternyata kita harus
memilih mana yang terbaik tuk semua.
Cukup banyak waktu
yang kita habiskan, semua tidak terbuang percuma.
Lambaikan tangan biar
pergi lebih mudah.
Sungguh senang ku bisa
kenal kamu...
Iya, sekitar dua tahun yang lalu. Saya dan Fitri memutuskan bahwa kami
harus berpisah. Meski sudah cukup lama kami berpisah, ada perasaan yang harus
saya akui yang tiba-tiba muncul saat mendengar lagu BIP mengalun dalam perjalan
pulang saya malam ini. Bahwa ada perasaan rindu yang tiba-tiba mengular dari
dada. Entah, perasaan lain seperti juga ikut tergerak ingin dipanggil, seperti
perasaan kehilangan, kecewa, atau pun perasaan marah. Entah sampai kapan
perasaan seperti ini kerap datang dengan kurang ajar. Dalam batin saya, “Saya
berharap ingatan-ingatan seperti ini tidak akan muncul lagi”. Perpisahan saya
dengan Fitri memang adalah keputusan yang terbaik yang kami ambil saat itu.
Setidaknya sampai sekarang.
Awalnya, perpisahan ini bukan hal yang mudah, baik untuk Fitri, juga
untuk saya. Mungkin hanya perasaan bodoh saya saja yang mengatakan demikian.
Tak selang berapa lama, Fitri memilih jalan yang terbaik yang ia ambil untuk
berbahagia. Tidak ada yang salah. Semua orang berhak berbahagia dengan
pilihannya. Karena tidak ada satu pun orang lain di luar sana, yang mau
bertanggung jawab jika terjadi hal yang menyakitkan dengan diri kita. Mengenai
penyebab kami berpisah, saya serahkan pada bagian publicist untuk menceritakannya.
Panggil saya berlebihan, tapi bagi saya, Fitri tetap perempuan paling
baik yang pernah saya temui. Setidaknya sampai saat ini. Dia mau menerima saya
apa adanya. Diantara banyak perempuan yang datang dan pergi, dia yang paling lama
bertahan menghadapi semua sifat buruk saya. Dan saya menghaturkan salut
untuknya. Entah, sekarang ia bersanding dengan siapa, saya tidak ambil pusing
yang jelas saya selalu menghormatinya sebagai seseorang perempuan yang pernah
dekat dengan saya.
Apakah dulu saya dan Fitri sedih dengan perpisahan? Jelas. Tak pernah
ada perpisahan yang mudah untuk dihadapi. Tapi kadar kapasitas seseorang selalu
berbeda untuk menakar kesedihan yang dialami. Mungkin Fitri lebih tegar dari
saya kala itu, untuk menyadari perpisahan yang terjadi. Semuanya masih wajar,
dan kami menyadarinya sebagai sebuah fase yang harus kami hadapi dalam satu
hubungan.
Saya akui setiap peristiwa akan memiliki aktornya masing-masing. Saat
itu, saya belajar mengerti arti pengorbanan dan berjuang untuk meraih mimpi
bersama Fitri. Melalui cara kesederhanaan, dan melalui sifat yang apa adannya.
Mungkin waktu tidak akan pernah berputar untuk menunjukkan betapa kami
melewatinya dengan berliku-liku, sesuatu hal yang lebih baik atau lebih buruk
mungkin sekarang tidak ada artinya lagi. Kita hanya dipaksa oleh sang waktu
untuk menerimanya saja, sebagai sebuah keyakinan masing-masing, sebagai sebuah
pembelajaran hidup. Kau yang kuat, akan bertahan. Sedangkan kau yang lemah,
akan meratap.
Sayang, manusia selalu merusak persaudaraannya dengan keegoannya. Saya
yang memilih untuk membenci supaya dapat mudah untuk melupakan kenangan, ternyata
sia-sia setelah dilakukan. Karena semakin melupakan, saya semakin mengingat
dengan tekun. Fitri yang mengerti kebencian saya itu, terlanjur sakit hati dan
memilih menjauh serta acuh terhadap saya. Sikap yang ia lakukan, membuat saya
sedikit tenang awalnya, karena usaha untuk tidak mengingatnya akan berjalan dengan
mudah. Namun ada perasaan menyesal setelah melakukan hal tersebut, sama halnya
saya menafikkan diri saya sendiri, bahwa ada masa lalu yang telah membentuk
saya sampai detik ini.
Sampai pada akhirnya saya memilih untuk diam saja, memutuskan membuang
diri dengan berjalan sendiri, merampungkan mimpi yang masih tertunda kala itu.
Berangkat traveling, menulis, dan bersenang-senang semau saya. Supaya pikiran
teralihkan. Sesaat memang mengasikkan, tapi ada sudut kecil yang berteriak,
“Bahwa kamu telah berdosa, melakukan hal itu!” dan mengajak saya untuk kembali
pulang, dan berdamai dengan diri sendiri.
Bulan Maret, bagi saya adalah shelter
dimana saya harus berkontemplasi, setelah sebulan lalu saya menyadari bahwa
umur ini tidak muda lagi. Saya ingin merapikan beberapa kenangan yang berserak
tak karuan. Beberapa peristiwa yang mungkin masih ganjil dan memang butuh
penjelasan. Beberapa peristiwa yang mungkin (dahulu) tidak mampu saya terima keberadaannya
dan masih saja terbawa sampai saat ini, harus segera saya ikhlaskan.
Semua harus dirapikan bulan ini, supaya tidak terlalu berat untuk
melangkahkan kaki ini kembali. mengingat bulan ini adalah awal pertemuan saya
dengan Fitri lima tahun yang lalu. Teramat sayang, bahwa pertemuan yang baik,
berakhir dengan sesuatu hal yang kurang baik.
Mungkin saja ada baiknya, seseorang perempuan di posisikan untuk
menunggu supaya pria lebih proaktif untuk berjuang. Mungkin saja, ia menunggu
bahwa sesuatu yang ganjil akan segera terungkap dan terselesaikan oleh
keberadaan sang pria. Memang ada
benarnya, saat perempuan mempunyai kuasa untuk memilih, pria juga ternyata
memiliki kuasa untuk menyelesaikannya.
Baiklah, sebelum menyelesaikannya. Ada satu pertanyaan yang masih saya
pikirkan sedari tadi,
“Apa
benar, menulis itu merapikan kenangan?”
“...hmmm...”
“Saya
kok masih ragu ya!”
“Malah
saya berasumsi, semakin memunculkan kenangan kepermukaan.”
“Waaaaahhhkk.”
0 komentar:
Posting Komentar