10 min Reading
Add Comment
Aku membuka toples yang berisikan serbuk kopi yang kemarin sore aku tumbuk
sendiri, kemudian menyambar gelas dan keluar dari kamar menuju dapur yang
terletak di salah satu pojokan. Saat aku sedang menyalakan kompor, terdengar
seseorang membuka kamar. Ia tersenyum dan menyapa, “Kapan datang Mas?”
“Semalam. Shubuhan, ya...,” aku
terhenti sampai di kalimat itu, lupa nama orang itu. Namanya Risang atau Gesang,
ya?
Ia kembali tersenyum, “Iya,
Mas...,” lalu ia melaju masuk ke kamar mandi.
Ketika ia keluar dari kamar
mandi, air yang kujerang hampir mendidih, dan ketika ia keluar dari kamar
sesudah melaksanakan sholat Shubuh, aku sudah beranjak menuju ke kamarku sambil
membawa segelas kopi hitam. “Ngopi...,” ujarku berbasa-basi saat melewati
kamarnya. Lagi-lagi ia hanya tersenyum.
Sambil menunggu kopiku agak
dingin, aku menyalakan sebatang rokok mild.
***
Kenangan. Sebuah dunia yang aneh.
Dunia itu seperti sepasukan pemberontak yang sangat bengal atas sebuah
kekuasaan yang bernama kehendak. Bahkan tetap sebagai pemberontak yang mampu
menandingi kecerdikan kekuasaan yang lain, alam pikir. Ia bahkan tetap saja
sebagai sepasukan pemberontak yang culas, yang terus merecoki kekuasaan
kesadaran.
Ia, kenangan, bisa datang dari
apa saja, dari mana saja, seperti setan. Ia bisa menyentak ketika kita sedang
mengaduk minuman. Ia bisa menerabas hanya lewat satu adegan kecil di film yang
sedang kita tonton. Ia bisa menyeruak dari sebuah deskripsi novel yang sedang
kita baca. Ia bersemayam di mana-mana, di bau parfum orang yang bersimpangan
dengan kita, di saat kita sedang termangu di pantai, di saat kita sedang
mendengarkan lagu.
Ia memiliki sejenis keangkuhan
yang dimiliki oleh setan. Seakan-akan jauh hari ia sudah bilang, “Tuhan
Kehendak, Tuhan Pikirkan, Tuhan Kesadaran, aku bersedia masuk ke dalam neraka,
tapi ijinkanlah aku mendatangi seluruh peristiwa, menggoda mereka, menyeret
mereka untuk menerima godaanku...”
Ia datang tak diundang. Ia pergi
tak diantar. Seperti Jelangkung.
Dan ketika tuhan-tuhan kecil yang
ada di diri kita itu dengan lantang beroperasi seperti firman Tuhan, “Kau
dekati aku sejari, Kudekati kamu sehasta. Kau dekatiku dengan berjalan, Aku
menghampirimu dengan berlari,” si pemberontak sial itu juga beroperasi seperti
setan, “Semakin tinggi imanmu, semakin besar kekuatanku.”
Kenangan itu seperti kubangan
lumpur hidup. Tanpa sadar kita telah terperosok di dalamnya, dan ketika kita
mencoba untuk keluar dari kubangan itu, ia semakin menyedot masuk.
Ia, kenangan, seperti sepasukan
kecil gerilyawan yang liat. Ia bisa bersembunyi di balik angin, malam, dan
hujan. Lalu meremukkan seluruh batalyon tempur. Dan sialnya, ia beroperasi
dengan meminjam banyak sistem operasi
yang ada. Ia bisa datang dengan pembedaan, ia bisa datang dengan melakukan
persamaan. Ketika kita sedang membaca sebait puisi sedih, ia akan datang dengan
persamaan. Ketika sedang membaca puisi
yang memberi semangat, ia datang dengan pembedaan, menyeret semangat
kita menjadi sedih kita. Dan itu adalah kesalahan terbesar.
Mengapa kalau perempuan itu yang
mengingatkan aku untuk makan, aku menganggap itu adalah cara dia untuk
menunjukkan rasa cinta, sedangkan jika perempuan lain yang memperingatkan aku
makan kuanggap sebagai sikap yang berlebihan dan cerewet? Kalau perempuan itu
tidak menepati janji di sebuah peristiwa, aku menganggap: ah, begitulah
manusia, tidak ada yang sempurna. Tapi jika perempuan lain, terutama
setelahnya, kuanggap telah menodai sebuah hubungan?
Mengapa jika perempuan itu
menyeletuk tentang sesuatu yang berbeda dengan keyakinanku, maka aku akan
memaklumi dengan berkata bahwa toh manusia bisa berubah. Tapi kalau perempuan
lain setelah dia, aku mengatakan betapa kami berdua telah berbeda secara
prinsip?
Sialnya lagi, setiap badai
kenangan itu turun, ia hanya mempunyai satu kepastian: rasa sedih yang
menyesakkan.
Kenangan dan kesedihan. Dua
bersaudara yang aku tidak pernah tahu sampai detik ini, yang manakah yang lebih
tua, dan yang mana yang lebih muda.
Ada orang yang bilang bahwa pada
awalnya, awal sekali, setiap manusia yang lahir sudah dikutuk untuk lebih dulu
kenal kesedihan. Buktinya, setiap bayi yang lahir selalu menangis, dan bukannya
tertawa.
Tapi waktu itu aku menolak tesis
itu. Karena menurutku tidak ada hubungan antara menangis dan kesedihan. Banyak
orang yang mengekspresikan kesenangan dengan menangis. Lalu alasan yang lain
adalah karena tangisan pertama itu adalah bahasa natural, lagi-lagi tidak ada
hubungannya dengan kesenangan dan kesedihan.
Sudah dari awal, sepertinya,
kenangan kesedihan lebih berjumawa dibanding kenangan akan keriangan. Kenangan
sedih tidak butuh alat pencatat. Ia, kenangan sedih itu, justru ingin
disingkirkan melalui catatan-catatan atas kebahagiaan dan kesenangan. Ia ingin
dibakar sampai habis, dilenyapkan. Lihatlah, betapa manjanya pangeran kecil
yang bernama ‘Kebahagiaan’ itu. Sang Pangeran dikelilingi oleh
punggawa-punggawa catatan: foto-foto, kado-kado, dan survenir.
Aku bisa saja berkata: nggak
juga, aku toh sering terkikik sendiri mengenang hal-hal yang lucu, aku pernah
tertawa sendiri karena hal-hal yang menyenangkan di masa yang lalu. Ya! Tapi
berapa banyak? Sebanyak apa? Dan lihatlah betapa pendek jarak yang terbentang
antara si pengingat kenangan gembira dengan kegembiraan itu. Tapi lihatlah, betapa
jauhnya jarak yang dibentangkan antara si pengingat kesedihan dengan kenangan
sedih. Jarak? Ya, jarak! Baik jarak waktu maupun jarak kerumitan.
“Jarak waktu? Jarak kerumitan?”
Sederhana. Tentang jarak waktu.
Ambillah contoh di saat kamu kelas lima SD, ibumu sakit. Sekarang ingat
baik-baik, kesenangan apa yang kamu ingat di saat kamu duduk di kelas lima SD
itu?
“Tidak ada.”
“Nah!”
“Tapi aku punya ingatan yang
menyenangkan di saat aku duduk di kelas dua SD!”
Baik! Tapi coba sekarang kamu
ingat kesedihan apa saja yang pengalaman sedihmu saat kamu duduk di kelas dua
SD? Kamu hampir kencing di celana karena lupa mengerjakan PR! Itu saat pertama
kali kamu dapat angka lima! Itu saat kamu menangis keras karena mendengar
cerita tentang Ryhesti Ayu Gita! Itu saat pertama kali guru ngajimu marah dan
menjewer telingamu! Sebut lagi yang lain, catatlah dan buat perbandingannya!
Sekarang tentang jarak kerumitan.
Saat kamu menonton sebuah film yang mempunyai adegan sepasang kekasih berpelukkan
di pantai, kamu ingat saat kamu pacaran pertama kali di bangku SMA. Ingat, itu
cinta pertama yang kata orang adalah hal yang tidak akan gampang dilupakan. Dan
kamu ingat, itulah saat pertama kali kamu dipeluk perempuan, dan itu kamu
lakukan di pantai! Sepasang kekasih berpelukan dengan kamu yang sedang dipeluk
pacar pertamamu! Tapi kamu selalu sedih di saat ada seorang perempuan
menyeduhkan kamu sejenis minuman. Kamu lalu ingat akan sebuah senja. Kamu ingat
akan sebuah senja yang gerimis. Kamu ingat di saat itu, ia bilang, “Sudahlah...
ini sudah selesai...” Dan kamu tiba-tiba jadi linglung! Bandingkanlah antara
seduhan jenis minuman tertentu dengan kelinglunganmu, dan ingatlah antara
pantai dengan pantai! Betapa satu begitu dekat, dan yang lain begitu jauh?
Kesedihan menautkan jarak yang begitu rumit.
“Tapi...”
“Apa?”
“Diam.”
Itu belum cukup. Mengapa tidak
semua hal tentang pantai membuatmu tersenyum? Tapi mengapa setiap seduhan
minuman tertentu yang dilakukan oleh seorang perempuan membuatmu selalu ingat,
bahkan setiap senja yang gerimis membuatmu selalu mengutuk masa lalumu? Dan
kalau pun toh kamu ingat dan tersenyum hanya beberapa menit? Mengapa kamu
selalu butuh berjam-jam tenggelam dalam kesedihanmu gara-gara ada senja yang
gerimis, gara-gara ada perempuan yang menyeduhkanmu minuman? Lihatlah, bahkan
dalam bentangan jarak yang sangat rumit itu, kesedihan jauh lebih perkasa
dibanding dengan kesenangan!
Tapi itu bukan mungkin hanya
terjadi pada dirimu...
Ya, aku memang sedang merenungkan
diriku sendiri, menceritakan diriku sendiri, yang tidak lain adalah dirimu!
***
Aku menyeruput minuman yang
ternyata telah lama dingin. Menyulut rokok lagi, dan menyalakan telepon
genggam, bersiap kalau suatu saat Tante Dewi menelepon. Waktu di telepon
genggam menunjuk pukul sembilan lebih empat puluh dua menit. Ada tiga pesan
masuk. Ketiganya bukan pesan yang penting.
Di gelas minuman yang masih
kupegang, ada pendar bayangmu...
Bahkan nalar tentang yang penting
dan yang tidak penting itu juga diobrak-abrik oleh badai kenangan...
Kamu sadar, ada yang tidak baik
bagimu, dan kamu berusaha melupakannya. Kamu juga sadar bahwa ada yang baik
bagimu, dan kamu mencoba mengekalkannya, mengingatnya. Tapi apa yang terjadi?
Hal buruk yang ingin kamu lupakan malah sering datang. Hal baik yang kamu ingin
ingat terus malah gampang lupa. Dan...
“Ah, sudah ah! Pusing!”
Telepon berdering. Pasti Tante
Dewi... ternyata tidak. Dari seorang perempuan yang terakhir kali kutemui di
kafe itu...
Aku menerima dengan agak malas,
“Halo...”
“Halo...”
“Hei...”
“...hei...”
“...apa kabar?”
“Agak buruk...”
Duh! Dengan agak ragu aku
bertanya, “Kenapa?”
“Pakai tanya, lagi! Kamu tahu
sebabnya!”
Duh! Masalah lagi... tapi tetap
saja aku bertanya, “Aku? Maksudmu?”
“Iya, kamu! Aduh... gimana, nih?!”
“Gimana, apanya?”
“Kamu itu gak nyadar yaa?!”
“Nyadar untuk apa?!”
“Masak nggak ngerasa, sih?!”
“Ngerasa apa?”
“Kamu itu bikin masalah dalam
hidupku!”
“Hah, Masalah apa?”
“Sok nggak ngerti, lagi!”
“Aku benar-benar tidak tahu...,”
Duh... dia mulai bermain drama lagi...
“Kamu benar-benar keterlaluan!”
Aku diam. Dia diam. Lalu pelan
aku menjawab, “Oke, begini saja... tutup teleponnya lima menit, pikirkan apa
kesalahanku, lalu nanti lima menit lagi, aku akan meneleponmu, oke?...”
Telepon di seberang tiba-tiba
dimatikan. Mungkin ia merasa sangat kesal.
Lima menit kemudian, aku menelepon
dia. Telepon diangkat, aku langsung bertanya, “Sudah?”
“Ya.”
“Oke, sekarang kamu katakan apa
salahku...”
“...Susah...”
“Aku bantu. Ini tentang aku dan
kamu, kan?”
“Ya, iyalah!”
“Baik, sekarang kumulai dengan
aku sering menghubungimu. Agak bermasalah. Kamu tidak menanggapi. Tapi akhirnya
baik-baik saja. Lalu aku bilang kalau aku ingin jadi pacarmu. Kamu bilang bahwa
kamu sudah punya pacar. Aku menerima kenyataan itu. Coba sekarang katakan
padaku, di manakah letak kesalahanku?”
Dia diam. Aku memberi waktu.
Setelah beberapa saat, aku
kembali bertanya, “Di manakah letak kesalahanku?”
“Aku nggak tahu... tapi.. tapi
kamu mulai menggangguku...”
“Seingatku semenjak aku tahu
kalau kamu punya pacar, aku tidak pernah lagi mengganggumu...”
“Iya, tapi... aku bingung...”
“Bingung apa?”
“Aku selalu memikirkanmu...”
“Eh, ingat ya... kamu sudah punya
pacar...”
“Nggak usah sok bijak!”
“Kok kamu ngamuk...”
“Kamu, sih! Coba kalau kamu tidak
menghubungiku dulu itu...”
“Lho, masalahnya dari awal kamu nggak bilang kalau kamu sudah punya
pacar. Dan sialnya lagi, tidak ada tanda di jidat orang yang menunjukkan kalau
orang itu sudah punya pacar. Di jidatmu tidak ada tulisan: ‘maaf sudah punya
pacar!’ Atau kamu tidak pernah kulihat memakai kaos yang bertuliskan: pacar si
A.”
“Sialan kamu...,” suara di
seberang menahan senyum. Aku mulai lega.
“Bisa nggak kita ketemu?”
“Untuk apa?”
“Ketemu saja. Bahkan ketemu pun
kamu sudah tidak mau lagi, ya?”
“Tapi aku sedang di Surabaya...”
“Sedang akan membunuh orang, ya?”
Aku tersenyum. Lega. Ia mulai bisa
bercanda.
“Kapan ke Bandung lagi?”
“Belum tahu... soalnya yang akan
kubunuh sepertinya punya nyawa rangkap...”
Ia tertawa. Aku semakin lega.
“Oke, ya sudah, deh... maaf ya,
mengganggu kamu...”
“Nggak apa-apa, maaf juga ya... telah membuat masalah di dirimu...”
“Sialan, kamu! Ya sudah, bye...”
Aku menghembuskan napas lega.
Untung... hampir saja... hampir saja hal yang dulu-dulu terulang lagi...
Aku menyalakan rokok lagi sebatang
setelah sebelumnya menandaskan sisa kopi di gelas.
Setelah dengannya, semua datang
silih berganti. Pada mereka semua, aku selalu memulainya dengan pengakuan.
Pengakuan akan masa lalu yang tidak pernah kuinginkan, dengan harapan jika
terjadi apa-apa yang aneh, mereka bisa memakluminya. Dan aku berusaha dengan
keras agar semua baik-baik saja. Tapi badai kenangan itu biasanya menerpa
dengan jauh lebih kuat, dan segala pondasi yang kubangun seperti sia-sia
menahan terpaannya. Semua bisa mengerti ketika harus diakhiri. Paling-paling
mereka hanya bilang, “Kamu memang sakit...”
Atau, “Kasihan kamu... semoga
kamu mendapat yang terbaik...”
Atau, “Aku sudah berusaha untuk
mengerti kamu, dan aku tahu kamu juga telah berupaya keras untuk mempertahankan
ini semua... Tapi sepertinya kamu memang butuh waktu...”
Atau, “Ini semua memang menyakitkan,
tapi aku bisa mengerti... aku selalu berdoa yang terbaik buat kamu...”
Atau, “Kalau kamu seperti ini
terus, tidak akan ada yang kuat bersamamu!”
Atau hanya sedu-sedan...
Atau hanya diam...
Tapi tidak sedikit pula yang
berpisah dengan saling melempar senyum, merasa semua serba lucu dan ganjil. Haha..
Hingga kemudian aku bertemu
dengan satu keadaan yang membuat aku menunggu.. dan mulai berdamai dengan
kenangan bulan Maret, aku segera merapikan pada satu arsip yang akan aku simpan
pada satu sudut kecil di pinggir meja
kerjaku. Selamat datang hari baru..
0 komentar:
Posting Komentar