Maret Adalah Satu Arsip Kenangan

Aku membuka toples yang berisikan serbuk kopi yang kemarin sore aku tumbuk sendiri, kemudian menyambar gelas dan keluar dari kamar menuju dapur yang terletak di salah satu pojokan. Saat aku sedang menyalakan kompor, terdengar seseorang membuka kamar. Ia tersenyum dan menyapa, “Kapan datang Mas?”

“Semalam. Shubuhan, ya...,” aku terhenti sampai di kalimat itu, lupa nama orang itu. Namanya Risang atau Gesang, ya?

Ia kembali tersenyum, “Iya, Mas...,” lalu ia melaju masuk ke kamar mandi.

Ketika ia keluar dari kamar mandi, air yang kujerang hampir mendidih, dan ketika ia keluar dari kamar sesudah melaksanakan sholat Shubuh, aku sudah beranjak menuju ke kamarku sambil membawa segelas kopi hitam. “Ngopi...,” ujarku berbasa-basi saat melewati kamarnya. Lagi-lagi ia hanya tersenyum.

Sambil menunggu kopiku agak dingin, aku menyalakan sebatang rokok mild.

***

Kenangan. Sebuah dunia yang aneh. Dunia itu seperti sepasukan pemberontak yang sangat bengal atas sebuah kekuasaan yang bernama kehendak. Bahkan tetap sebagai pemberontak yang mampu menandingi kecerdikan kekuasaan yang lain, alam pikir. Ia bahkan tetap saja sebagai sepasukan pemberontak yang culas, yang terus merecoki kekuasaan kesadaran.

Ia, kenangan, bisa datang dari apa saja, dari mana saja, seperti setan. Ia bisa menyentak ketika kita sedang mengaduk minuman. Ia bisa menerabas hanya lewat satu adegan kecil di film yang sedang kita tonton. Ia bisa menyeruak dari sebuah deskripsi novel yang sedang kita baca. Ia bersemayam di mana-mana, di bau parfum orang yang bersimpangan dengan kita, di saat kita sedang termangu di pantai, di saat kita sedang mendengarkan lagu.

Ia memiliki sejenis keangkuhan yang dimiliki oleh setan. Seakan-akan jauh hari ia sudah bilang, “Tuhan Kehendak, Tuhan Pikirkan, Tuhan Kesadaran, aku bersedia masuk ke dalam neraka, tapi ijinkanlah aku mendatangi seluruh peristiwa, menggoda mereka, menyeret mereka untuk menerima godaanku...”

Ia datang tak diundang. Ia pergi tak diantar. Seperti Jelangkung.

Dan ketika tuhan-tuhan kecil yang ada di diri kita itu dengan lantang beroperasi seperti firman Tuhan, “Kau dekati aku sejari, Kudekati kamu sehasta. Kau dekatiku dengan berjalan, Aku menghampirimu dengan berlari,” si pemberontak sial itu juga beroperasi seperti setan, “Semakin tinggi imanmu, semakin besar kekuatanku.”

Kenangan itu seperti kubangan lumpur hidup. Tanpa sadar kita telah terperosok di dalamnya, dan ketika kita mencoba untuk keluar dari kubangan itu, ia semakin menyedot masuk.

Ia, kenangan, seperti sepasukan kecil gerilyawan yang liat. Ia bisa bersembunyi di balik angin, malam, dan hujan. Lalu meremukkan seluruh batalyon tempur. Dan sialnya, ia beroperasi dengan meminjam  banyak sistem operasi yang ada. Ia bisa datang dengan pembedaan, ia bisa datang dengan melakukan persamaan. Ketika kita sedang membaca sebait puisi sedih, ia akan datang dengan persamaan. Ketika sedang membaca puisi  yang memberi semangat, ia datang dengan pembedaan, menyeret semangat kita menjadi sedih kita. Dan itu adalah kesalahan terbesar.

Mengapa kalau perempuan itu yang mengingatkan aku untuk makan, aku menganggap itu adalah cara dia untuk menunjukkan rasa cinta, sedangkan jika perempuan lain yang memperingatkan aku makan kuanggap sebagai sikap yang berlebihan dan cerewet? Kalau perempuan itu tidak menepati janji di sebuah peristiwa, aku menganggap: ah, begitulah manusia, tidak ada yang sempurna. Tapi jika perempuan lain, terutama setelahnya, kuanggap telah menodai sebuah hubungan?

Mengapa jika perempuan itu menyeletuk tentang sesuatu yang berbeda dengan keyakinanku, maka aku akan memaklumi dengan berkata bahwa toh manusia bisa berubah. Tapi kalau perempuan lain setelah dia, aku mengatakan betapa kami berdua telah berbeda secara prinsip?

Sialnya lagi, setiap badai kenangan itu turun, ia hanya mempunyai satu kepastian: rasa sedih yang menyesakkan.

Kenangan dan kesedihan. Dua bersaudara yang aku tidak pernah tahu sampai detik ini, yang manakah yang lebih tua, dan yang mana yang lebih muda.

Ada orang yang bilang bahwa pada awalnya, awal sekali, setiap manusia yang lahir sudah dikutuk untuk lebih dulu kenal kesedihan. Buktinya, setiap bayi yang lahir selalu menangis, dan bukannya tertawa.

Tapi waktu itu aku menolak tesis itu. Karena menurutku tidak ada hubungan antara menangis dan kesedihan. Banyak orang yang mengekspresikan kesenangan dengan menangis. Lalu alasan yang lain adalah karena tangisan pertama itu adalah bahasa natural, lagi-lagi tidak ada hubungannya dengan kesenangan dan kesedihan.

Sudah dari awal, sepertinya, kenangan kesedihan lebih berjumawa dibanding kenangan akan keriangan. Kenangan sedih tidak butuh alat pencatat. Ia, kenangan sedih itu, justru ingin disingkirkan melalui catatan-catatan atas kebahagiaan dan kesenangan. Ia ingin dibakar sampai habis, dilenyapkan. Lihatlah, betapa manjanya pangeran kecil yang bernama ‘Kebahagiaan’ itu. Sang Pangeran dikelilingi oleh punggawa-punggawa catatan: foto-foto, kado-kado, dan survenir.

Aku bisa saja berkata: nggak juga, aku toh sering terkikik sendiri mengenang hal-hal yang lucu, aku pernah tertawa sendiri karena hal-hal yang menyenangkan di masa yang lalu. Ya! Tapi berapa banyak? Sebanyak apa? Dan lihatlah betapa pendek jarak yang terbentang antara si pengingat kenangan gembira dengan kegembiraan itu. Tapi lihatlah, betapa jauhnya jarak yang dibentangkan antara si pengingat kesedihan dengan kenangan sedih. Jarak? Ya, jarak! Baik jarak waktu maupun jarak kerumitan.

“Jarak waktu? Jarak kerumitan?”

Sederhana. Tentang jarak waktu. Ambillah contoh di saat kamu kelas lima SD, ibumu sakit. Sekarang ingat baik-baik, kesenangan apa yang kamu ingat di saat kamu duduk di kelas lima SD itu?

“Tidak ada.”

“Nah!”

“Tapi aku punya ingatan yang menyenangkan di saat aku duduk di kelas dua SD!”

Baik! Tapi coba sekarang kamu ingat kesedihan apa saja yang pengalaman sedihmu saat kamu duduk di kelas dua SD? Kamu hampir kencing di celana karena lupa mengerjakan PR! Itu saat pertama kali kamu dapat angka lima! Itu saat kamu menangis keras karena mendengar cerita tentang Ryhesti Ayu Gita! Itu saat pertama kali guru ngajimu marah dan menjewer telingamu! Sebut lagi yang lain, catatlah dan buat perbandingannya!

Sekarang tentang jarak kerumitan. Saat kamu menonton sebuah film yang mempunyai adegan sepasang kekasih berpelukkan di pantai, kamu ingat saat kamu pacaran pertama kali di bangku SMA. Ingat, itu cinta pertama yang kata orang adalah hal yang tidak akan gampang dilupakan. Dan kamu ingat, itulah saat pertama kali kamu dipeluk perempuan, dan itu kamu lakukan di pantai! Sepasang kekasih berpelukan dengan kamu yang sedang dipeluk pacar pertamamu! Tapi kamu selalu sedih di saat ada seorang perempuan menyeduhkan kamu sejenis minuman. Kamu lalu ingat akan sebuah senja. Kamu ingat akan sebuah senja yang gerimis. Kamu ingat di saat itu, ia bilang, “Sudahlah... ini sudah selesai...” Dan kamu tiba-tiba jadi linglung! Bandingkanlah antara seduhan jenis minuman tertentu dengan kelinglunganmu, dan ingatlah antara pantai dengan pantai! Betapa satu begitu dekat, dan yang lain begitu jauh? Kesedihan menautkan jarak yang begitu rumit.

“Tapi...”

“Apa?”

“Diam.”

Itu belum cukup. Mengapa tidak semua hal tentang pantai membuatmu tersenyum? Tapi mengapa setiap seduhan minuman tertentu yang dilakukan oleh seorang perempuan membuatmu selalu ingat, bahkan setiap senja yang gerimis membuatmu selalu mengutuk masa lalumu? Dan kalau pun toh kamu ingat dan tersenyum hanya beberapa menit? Mengapa kamu selalu butuh berjam-jam tenggelam dalam kesedihanmu gara-gara ada senja yang gerimis, gara-gara ada perempuan yang menyeduhkanmu minuman? Lihatlah, bahkan dalam bentangan jarak yang sangat rumit itu, kesedihan jauh lebih perkasa dibanding dengan kesenangan!

Tapi itu bukan mungkin hanya terjadi pada dirimu...

Ya, aku memang sedang merenungkan diriku sendiri, menceritakan diriku sendiri, yang tidak lain adalah dirimu!

***

Aku menyeruput minuman yang ternyata telah lama dingin. Menyulut rokok lagi, dan menyalakan telepon genggam, bersiap kalau suatu saat Tante Dewi menelepon. Waktu di telepon genggam menunjuk pukul sembilan lebih empat puluh dua menit. Ada tiga pesan masuk. Ketiganya bukan pesan yang penting.

Di gelas minuman yang masih kupegang, ada pendar bayangmu...

Bahkan nalar tentang yang penting dan yang tidak penting itu juga diobrak-abrik oleh badai kenangan...

Kamu sadar, ada yang tidak baik bagimu, dan kamu berusaha melupakannya. Kamu juga sadar bahwa ada yang baik bagimu, dan kamu mencoba mengekalkannya, mengingatnya. Tapi apa yang terjadi? Hal buruk yang ingin kamu lupakan malah sering datang. Hal baik yang kamu ingin ingat terus malah gampang lupa. Dan...

“Ah, sudah ah! Pusing!”

Telepon berdering. Pasti Tante Dewi... ternyata tidak. Dari seorang perempuan yang terakhir kali kutemui di kafe itu...

Aku menerima dengan agak malas, “Halo...”

“Halo...”

“Hei...”

“...hei...”

“...apa kabar?”

“Agak buruk...”

Duh! Dengan agak ragu aku bertanya, “Kenapa?”

“Pakai tanya, lagi! Kamu tahu sebabnya!”

Duh! Masalah lagi... tapi tetap saja aku bertanya, “Aku? Maksudmu?”

“Iya, kamu! Aduh... gimana, nih?!”

Gimana, apanya?”

“Kamu itu gak nyadar yaa?!”

Nyadar untuk apa?!”

“Masak nggak ngerasa, sih?!”

Ngerasa apa?”

“Kamu itu bikin masalah dalam hidupku!”

“Hah, Masalah apa?”

“Sok nggak ngerti, lagi!”

“Aku benar-benar tidak tahu...,” Duh... dia mulai bermain drama lagi...

“Kamu benar-benar keterlaluan!”

Aku diam. Dia diam. Lalu pelan aku menjawab, “Oke, begini saja... tutup teleponnya lima menit, pikirkan apa kesalahanku, lalu nanti lima menit lagi, aku akan meneleponmu, oke?...”

Telepon di seberang tiba-tiba dimatikan. Mungkin ia merasa sangat kesal.

Lima menit kemudian, aku menelepon dia. Telepon diangkat, aku langsung bertanya, “Sudah?”

“Ya.”

“Oke, sekarang kamu katakan apa salahku...”

“...Susah...”

“Aku bantu. Ini tentang aku dan kamu, kan?”

“Ya, iyalah!”

“Baik, sekarang kumulai dengan aku sering menghubungimu. Agak bermasalah. Kamu tidak menanggapi. Tapi akhirnya baik-baik saja. Lalu aku bilang kalau aku ingin jadi pacarmu. Kamu bilang bahwa kamu sudah punya pacar. Aku menerima kenyataan itu. Coba sekarang katakan padaku, di manakah letak kesalahanku?”

Dia diam. Aku memberi waktu.

Setelah beberapa saat, aku kembali bertanya, “Di manakah letak kesalahanku?”

“Aku nggak tahu... tapi.. tapi kamu mulai menggangguku...”

“Seingatku semenjak aku tahu kalau kamu punya pacar, aku tidak pernah lagi mengganggumu...”

“Iya, tapi... aku bingung...”

“Bingung apa?”

“Aku selalu memikirkanmu...”

“Eh, ingat ya... kamu sudah punya pacar...”

Nggak usah sok bijak!”

“Kok kamu ngamuk...”

“Kamu, sih! Coba kalau kamu tidak menghubungiku dulu itu...”

“Lho, masalahnya dari awal kamu nggak bilang kalau kamu sudah punya pacar. Dan sialnya lagi, tidak ada tanda di jidat orang yang menunjukkan kalau orang itu sudah punya pacar. Di jidatmu tidak ada tulisan: ‘maaf sudah punya pacar!’ Atau kamu tidak pernah kulihat memakai kaos yang bertuliskan: pacar si A.”

“Sialan kamu...,” suara di seberang menahan senyum. Aku mulai lega.

“Bisa nggak kita ketemu?”

“Untuk apa?”

“Ketemu saja. Bahkan ketemu pun kamu sudah tidak mau lagi, ya?”

“Tapi aku sedang di Surabaya...”

“Sedang akan membunuh orang, ya?”

Aku tersenyum. Lega. Ia mulai bisa bercanda.

“Kapan ke Bandung lagi?”

“Belum tahu... soalnya yang akan kubunuh sepertinya punya nyawa rangkap...”

Ia tertawa. Aku semakin lega.

“Oke, ya sudah, deh... maaf ya, mengganggu kamu...”

Nggak apa-apa, maaf juga ya... telah membuat masalah di dirimu...”

“Sialan, kamu! Ya sudah, bye...”

Aku menghembuskan napas lega. Untung... hampir saja... hampir saja hal yang dulu-dulu terulang lagi...

Aku menyalakan rokok lagi sebatang setelah sebelumnya menandaskan sisa kopi di gelas.



Setelah dengannya, semua datang silih berganti. Pada mereka semua, aku selalu memulainya dengan pengakuan. Pengakuan akan masa lalu yang tidak pernah kuinginkan, dengan harapan jika terjadi apa-apa yang aneh, mereka bisa memakluminya. Dan aku berusaha dengan keras agar semua baik-baik saja. Tapi badai kenangan itu biasanya menerpa dengan jauh lebih kuat, dan segala pondasi yang kubangun seperti sia-sia menahan terpaannya. Semua bisa mengerti ketika harus diakhiri. Paling-paling mereka hanya bilang, “Kamu memang sakit...”

Atau, “Kasihan kamu... semoga kamu mendapat yang terbaik...”

Atau, “Aku sudah berusaha untuk mengerti kamu, dan aku tahu kamu juga telah berupaya keras untuk mempertahankan ini semua... Tapi sepertinya kamu memang butuh waktu...”

Atau, “Ini semua memang menyakitkan, tapi aku bisa mengerti... aku selalu berdoa yang terbaik buat kamu...”

Atau, “Kalau kamu seperti ini terus, tidak akan ada yang kuat bersamamu!”

Atau hanya sedu-sedan...

Atau hanya diam...

Tapi tidak sedikit pula yang berpisah dengan saling melempar senyum, merasa semua serba lucu dan ganjil. Haha..

Hingga kemudian aku bertemu dengan satu keadaan yang membuat aku menunggu.. dan mulai berdamai dengan kenangan bulan Maret, aku segera merapikan pada satu arsip yang akan aku simpan pada satu sudut kecil di pinggir meja  kerjaku. Selamat datang hari baru..

0 komentar:

Posting Komentar

Pasang Iklanmu di sini