3 min Reading
Add Comment
Pukul enam belas, lima belas.
Setelah membalas surat elektronik dari seorang rekan waktu SMA, saya bergegas untuk segera pulang. Minggu ini Surabaya selalu turun hujan setiap sore. Sedangkan saya tidak ingin melewatkan satu pertemuan penting dengan kawan lama di satu kedai kopi. Saya yang mulai dekat denganya beberapa bulan terakhir ini, merasa berhutang untuk menemuinya. Apalagi setelah perjumpaan terakhir kami waktu kami masih SMA, kami tidak pernah bertemu lagi setelah itu, hanya mengerti kabar masing-masing melalui media sosial dan juga surat elektronik yang jarang kami balas. Apalagi saya mengerti jika malam ini adalah malam terakhirnya berada di Surabaya.
Baru beberapa kilometer saya
memacu motor, tiba-tiba hujan mengguyur jalanan dengan hebatnya. Sebenarnya
peringatan itu sudah saya terima dari rekan saya yang hendak saya temui melaui
pesan singkat.
“Di sini
hujan, nggakpapa ta?”
“Tenang, aku
bawa mantel kok.”
Saya memutuskan untuk berhenti
saja. Awalnya untuk mengenakan mantel hujan, tapi setelah tahu hujan bercampur
angin dan sangat lebat, saya memutuskan untuk berhenti agak lama sembari
menunggu hujan sedikit mereda. Apalagi saya baru ingat jika dompet yang hampir
basah di kantong belakang saku celana saya tidak ada isinya. Saya mencari mesin
tarik tunai yang paling dekat dengan tempat saya berteduh.
Saya menepi di pelataran rumah
sakit, memilih sebuah bangunan menyerupai kantin atau rumah makan yang
sepertinya baru ditutup oleh pemiliknya. Mempercepat untuk memarkir kendaraan
dan berlari menuju kantin yang sudah tertutup itu. Saya melihat beberapa orang
juga berhamburan mencari tempat berteduh. Dingin, namun sore itu sangat ramai.
Saya menyalakan rokok, untuk membuang rasa bosan.
Saya mengamati sekitar, dan
sesekali melihat air hujan yang jatuh ke jalanan. Kemudian saya membuka salah
satu kantong pada tas kamera, berharap saya membawa cover tahan air untuk membungkusnya. Saya hanya menemukan mantel warna biru yang saya
taruh di sela-sela lipatan penghubung bagian tas.
17:07
Ada perasaan cemas, saat hujan
tak kunjung reda. Saya takut kawan saya ini menunggu terlalu lama. Mengingat ia
sudah keluar rumah mulai siang. Kemudian ada perasaan cemas lainnya yang saya
takutkan, mungkin saja ia akan merasa tidak enak jika harus menunggu saya dan
kemudian merasa canggung saat saya temui. Dan lain sebagainya, beberapa perasaan
yang muncul secara acak. Saya takut akan membuatnya kecewa.
17:19
Saya memutuskan untuk memakai
mantel, dan membiarkan tas kamera saya beradu dengan hujan. Saya memacu
kendaraan lebih cepat dari biasanya, supaya saya lebih cepat tiba di lokasi.
Saya sudah terlambat cukup lama dari apa yang kami janjikan sebelumnya. Semoga ia
bisa mengerti, jika motor keluaran tahun 2004 yang saya naiki ini, sempat mogok
saat melewati jalanan banjir. Arrgh, sial..
18:15
Saya tiba tepat di parkiran kedai
kopi tempat di mana kami membuat janji. Saya masih mengenakan mantel hujan, dan
terpaksa harus melepaskannya terlebih dahulu. Cukup lama dan bergegas membenarkan
letaknya sehingga tidak berantakan tertiup angin. Sembari saya melipat dan
membereskan mantel hujan dan tas kamera yang sedikit basah, pikiran saya
menerawang kemana-mana. Saya memikirkan beberapa peristiwa yang baru-baru ini
saya alami dengannya, sempat ada perbincangan dan juga situasi yang membuat kami
bersitegang. Komunikasi yang awalnya hangat dan seru, baru-baru ini menjadi
dingin dan datar. Entahlah. Saya tak bisa menceritakannya di sini.
Sesaat saya memutuskan untuk
masuk menemuinya. Saya berusaha membuang jauh-jauh perasaan bersalah saya,
membuang beberapa pikiran negatif yang saya miliki tentangnya, tentang apapun itu.
Saya ingin membebaskan semuanya, membiarkan yang akan terjadi dengan begitu
saja. Saya hanya ingin menikmati malam ini, tanpa ada beban yang masih harus saya
bawa tadi seharian: dengan hujan yang tak tepat waktu, dengan motor yang mogok.
Persetan..
Saya akan menjadi diri saya sendiri malam ini,
dan semoga kamu tahu, inilah aku setelah 7 tahun yang lalu.
0 komentar:
Posting Komentar