MICE dan Potensinya

Berbicara mengenai industri pariwisata, jelas bukan permasalahan yang sederhana. Apalagi dihadapkan dengan industri pariwisata Indonesia. Di dalam industri, pariwisata secara makro tidak hanya berbicara soal tempat dan potensinya, namun juga membahas konteks kegiatan melancong dan segmentasi kunjungannya.

Secara awam masyarakat hanya mengenal dengan wisata massal. Tentu sifat yang terbayang adalah mengenai rekreasional dan leisure semata. Padahal selain wisata massal, ada satu lagi segmentasi pariwisata yang sedang gencar-gencarnya dikembangkan, biasa disebut dengan MICE. Kata ini merupakan sebuah singkatan. MICE adalah singkatan dari Meetings, Incentives, Conventions & Events, karena kata tersebut lebih mewakili apa yang selama ini terselenggara di Indonesia. Contoh events cakupan MICE yang diselenggarakan di Indonesia adalah festival musik Java Jazz, Tour de Singakarak, dan lain sebagainya.





Bila menyimak kepanjangannya, MICE tampak tidak terdengar seperti singkatan yang menggambarkan pariwisata. Justru di sinilah kelebihannya. Bagaimana bisa? Faktanya, rata-rata perusahaan internasional mengadakan pertemuan akbar sekitar empat kali dalam satu tahun. Rapat-rapat besar ini dikemas menjadi sebuah perjalanan ke destinasi-destinasi luar kota atau mancanegara. Dari kebutuhan inilah wisata MICE hidup dan berkembang.

Memang jenis wisata ini kurang populer di telinga kebanyakan orang, data menunjukkan bahwa wisata MICE mendatangkan keuntungan tiga kali lebih besar dibandingkan wisata massal biasa di Indonesia (Lubis, 2012). Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Yang pertama, dari keseluruhan anggota peserta rapat, biasanya pengeluaran akan direncanakan untuk tiga kali dari jumlah peserta awal. Hal ini disebabkan karena biasanya peserta rapat akan membawa personel tambahan, seperti anggota keluarga, sekretaris atau kerabat. Faktor kedua, wisata jenis ini memaksimalkan semua elemen yang ada di dalam infrastruktur. Perioritas utamanya adalah efisiensi fasilitas meeting hall dan sarana pendukungnya yang tersedia di akomodasi. Tetapi selain itu, mereka juga akan melakukan kunjungan ke titik wisata di tempat mereka melakukan pertemuan. Setelah merampungkan pertemuan, mereka juga akan berwisata selayaknya pelancong pada umumnya. Semuanya diatur ke dalam satu paket yang terpadu. Faktor terakhir adalah durasi kunjungan. Durasi minimal untuk wisata MICE adalah tiga hari. Bila kurang dari tiga hari, kunjungan itu tidak diperhitungkan sebagai MICE.




Sebagai contoh kecil, November tahun 2013 lalu saya membantu rekan-rekan birder dari Selangor Malaysia yang mengadakan meeting converence di Surabaya. Memang tamu yang datang tidak terlalu banyak, kurang lebih sekitar 100 orang. Namun beberapa tamu yang datang sebagian besar adalah pejabat penting di daerah Selangor Malaysia. Hal ini membuat kami mempertimbangkan para pelaksana konfrensi, ketersediaan venue, transportasi yang lengkap, sistem pelaksanaan yang teratur, dan yang pasti kenyamanan tempat itu sendiri. Contoh lain dari keberlanjutan dari acara yang telah dilaksanakan di Surabaya, berkembang ke Kota Bandung dengan jumlah peserta lebih banyak dan beragam. Selama konfrensi berlangsung, sudah dapat dipastikan penghasilan masyarakat lokal meningkat dari hari biasanya, kami pun sebagai pihak penyelenggara juga mendapatkan manfaatnya.

Wisata jenis MICE juga lebih terukur. Karena wadahnya pertemuan dan konferensi formal, kita bisa menghitung dan mengalkulasikan pendapatan dan pengeluaran. Dibandingkan dengan jenis wisata massal yang masih abu-abu, MICE lebih memberikan kepastian (Lubis, 2012).




Wisata MICE jelas memberikan maslahat dan kontribusi yang positif bagi industri pariwisata Indonesia. Semua elemen harus menggalang kerja sama demi membangun infrastruktur yang lebih kokoh untuk jenis wisata potensial ini.

Jadi masih ada yang belum mengerti tentang MICE?








Lokasi Pengambilan Foto:
Hotel Mercure Surabaya, Jl. Raya Darmo 68-78, 60264-Surabaya Indonesia
T: (+62)31/ 5623000, F: (+62)31/ 567838, E: info@mercuresurabaya.com
 
Refrensi Sumber Tulisan: 
National Geographic Traveler. Vol. 4, No. 6. Juni 2014.


0 komentar:

Posting Komentar

Pasang Iklanmu di sini