3 min Reading
Add Comment
Berbicara mengenai industri
pariwisata, jelas bukan permasalahan yang sederhana. Apalagi dihadapkan dengan
industri pariwisata Indonesia. Di dalam industri, pariwisata secara makro tidak
hanya berbicara soal tempat dan potensinya, namun juga membahas konteks
kegiatan melancong dan segmentasi kunjungannya.
#30HariMenulis
artikel
buku harian ayah
opini
reblog
wisata
Secara awam masyarakat hanya
mengenal dengan wisata massal. Tentu sifat yang terbayang adalah mengenai
rekreasional dan leisure semata. Padahal
selain wisata massal, ada satu lagi segmentasi pariwisata yang sedang
gencar-gencarnya dikembangkan, biasa disebut dengan MICE. Kata ini merupakan
sebuah singkatan. MICE adalah singkatan dari Meetings, Incentives, Conventions & Events, karena kata
tersebut lebih mewakili apa yang selama ini terselenggara di Indonesia. Contoh events cakupan MICE yang diselenggarakan
di Indonesia adalah festival musik Java Jazz, Tour de Singakarak, dan lain
sebagainya.
Bila menyimak kepanjangannya,
MICE tampak tidak terdengar seperti singkatan yang menggambarkan pariwisata.
Justru di sinilah kelebihannya. Bagaimana bisa? Faktanya, rata-rata perusahaan
internasional mengadakan pertemuan akbar sekitar empat kali dalam satu tahun.
Rapat-rapat besar ini dikemas menjadi sebuah perjalanan ke destinasi-destinasi
luar kota atau mancanegara. Dari kebutuhan inilah wisata MICE hidup dan
berkembang.
Memang jenis wisata ini kurang
populer di telinga kebanyakan orang, data menunjukkan bahwa wisata MICE
mendatangkan keuntungan tiga kali lebih besar dibandingkan wisata massal biasa
di Indonesia (Lubis, 2012). Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Yang
pertama, dari keseluruhan anggota peserta rapat, biasanya pengeluaran akan
direncanakan untuk tiga kali dari jumlah peserta awal. Hal ini disebabkan
karena biasanya peserta rapat akan membawa personel tambahan, seperti anggota
keluarga, sekretaris atau kerabat. Faktor kedua, wisata jenis ini memaksimalkan
semua elemen yang ada di dalam infrastruktur. Perioritas utamanya adalah
efisiensi fasilitas meeting hall dan
sarana pendukungnya yang tersedia di akomodasi. Tetapi selain itu, mereka juga
akan melakukan kunjungan ke titik wisata di tempat mereka melakukan pertemuan.
Setelah merampungkan pertemuan, mereka juga akan berwisata selayaknya pelancong
pada umumnya. Semuanya diatur ke dalam satu paket yang terpadu. Faktor terakhir
adalah durasi kunjungan. Durasi minimal untuk wisata MICE adalah tiga hari. Bila
kurang dari tiga hari, kunjungan itu tidak diperhitungkan sebagai MICE.
Sebagai contoh kecil, November
tahun 2013 lalu saya membantu rekan-rekan birder
dari Selangor Malaysia yang mengadakan meeting
converence di Surabaya. Memang tamu
yang datang tidak terlalu banyak, kurang lebih sekitar 100 orang. Namun
beberapa tamu yang datang sebagian besar adalah pejabat penting di daerah
Selangor Malaysia. Hal ini membuat kami mempertimbangkan para pelaksana
konfrensi, ketersediaan venue,
transportasi yang lengkap, sistem pelaksanaan yang teratur, dan yang pasti
kenyamanan tempat itu sendiri. Contoh lain dari keberlanjutan dari acara yang
telah dilaksanakan di Surabaya, berkembang ke Kota Bandung dengan jumlah
peserta lebih banyak dan beragam. Selama konfrensi berlangsung, sudah dapat
dipastikan penghasilan masyarakat lokal meningkat dari hari biasanya, kami pun
sebagai pihak penyelenggara juga mendapatkan manfaatnya.
Wisata jenis MICE juga lebih
terukur. Karena wadahnya pertemuan dan konferensi formal, kita bisa menghitung
dan mengalkulasikan pendapatan dan pengeluaran. Dibandingkan dengan jenis
wisata massal yang masih abu-abu, MICE lebih memberikan kepastian (Lubis,
2012).
Wisata MICE jelas memberikan
maslahat dan kontribusi yang positif bagi industri pariwisata Indonesia. Semua
elemen harus menggalang kerja sama demi membangun infrastruktur yang lebih
kokoh untuk jenis wisata potensial ini.
Jadi masih ada yang belum
mengerti tentang MICE?
Lokasi Pengambilan Foto:
Hotel Mercure Surabaya, Jl. Raya Darmo 68-78, 60264-Surabaya Indonesia
T: (+62)31/ 5623000, F: (+62)31/ 567838, E: info@mercuresurabaya.com
Refrensi Sumber Tulisan:
National Geographic Traveler. Vol. 4, No. 6. Juni 2014.
National Geographic Traveler. Vol. 4, No. 6. Juni 2014.
0 komentar:
Posting Komentar